“Rebut kembali takdir kepahlawananmu, May.”
Kalimat tersebut mengiang akhir-akhir ini di pikiran saya. Seorang kawan mengatakan hal itu beberapa waktu lalu usai kami berdiskusi tentang Islam. Hmm, tentu kalian bertanya, apa hubungannya?
Oke, oke, mari kita berkisah sejenak, karena memang tulisan ini berawal dari sebuah kisah. Ah, selalu begitu. Tapi memang begitu kenyataannya, kawan.
Frodo Baggins. Siapa yang tak kenal nama ini? Lelaki periang, lincah, baik hati itu hidup dengan damai di sebuah desa yang juga damai, tenang, ramah, serta baik hati. Tanpa dia mau, takdir mengajaknya bertemu sebuah tugas berat: menjadi pembawa cincin. Sebuah cincin penguasa semua cincin di Dunia Tengah. Dan takdir itu membuatnya jauh berbeda dari Frodo yang dulu. Ia kini sedikit garang, tak percaya siapapun, selalu ketakutan, tapi dia semakin berani mengambil resiko. Semua karena cincin.
Saya teringat sebuah scene saat Frodo sudah begitu lemah karena tekanan asap Gunung Maut yang membuatnya kesulitan bernapas. Saat itu ia terjatuh, hendak menutup matanya. Tapi bayangan Sang Peri muncul dan mengatakan (dengan aksen Inggris yang saya sangat sukai),
“Frodo, tugas ini telah menunjukmu. Bila tak kau temukan cara menemukannya, maka tak akan ada harapan.”
Bayangan itu muncul dan seolah menyentak Frodo.
Cut! Kisahnya sampai di sini. Kita mulai bahas, ya.
Frodo tak pernah menyangka bahwa dirinya mendapat tugas begitu besar. Padahal, apa dari kecil ia mengharapkan hal itu? Tidak. Dan saya berani bicara bahwa setiap kita memiliki takdir kepahlawanan masing-masing.
Dalam buku Anis Matta, Mencari Pahlawan Indonesia, pernah dituliskan sebuah kalimat. Intinya yang saya ingat adalah pahlawan besar suatu masa sebenarnya didukung oleh pahlawan-pahlawan kecil di masa sebelumnya. Jelas sudah bahwa tiap kita sebenarnya memiliki peran masing-masing.
Hal ini diperkuat ddengan firman Allah SWT dalam AlQuran: “tidaklah Kuciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepadaKu”.
Hei, May, apa hubungannya kepahlawanan dengan ibadah? Apa maksudmu seperti perang, bom bunuh diri, dan segala hal aneh berlabel jihad?
Yee, jangan ngerusuh dulu, dunk. Apalagi ngerusuhnya berbau rasis begitu. Ckckck, siapa sih yang ngajarin hal begitu? Kita lagi bahas kepahlawanan kita, tauuuk.
Oke, kita sudah yakin, kita tentu tahu, kita terlahir saja sudah sebagai pemenang. Dan kita terus hidup untuk menjadi pemenang. Iya, kan? Perlu dijelaskan?
Teman, tanpa bermaksud membicarakan pornografi, perjuangan sebuah ‘berudu’ kecil menuju rahim ibu kita saja sudah berat, melalui berbagai macam hal untuk sekadar membuahi sang telur. Kalau melihat video pembentukan manusia di VCD harunyahya, tentu kita akan takjub bahwa sel kecil pembentuk kita sudah berjuang mati-matian mencapai tempat semestinya. Dan hanya pemenang yang bisa melakukan itu.
Kemudian, 9 bulan kemudian—normalnya—sang ibu juga memperjuangkan kita agar terlahir. Bahkan, seringkali sang ibu merasa lebih baik ia yang mati daripada sang anak bila harus ada yang mati dalam perjuangan kelahiran itu. Hmm, di sini kita sudah lihat siapa yang memenuhi takdir kepahlawanannya.
Dua contoh saja seperinya sudah cukup, ya, untuk menjelaskan tentang takdir kepahlawanan. Dan kini, mengingat jatidiri kita sebagai muslim, kitapun memiliki takdir kepahlawanan sendiri: menolong agama Allah.
Kalau kata teman saya, jika tiap-tiap muslim menyadari takdir kepahlawanannya, maka ketika Rasulullah Muhammad saw bertanya, “Apakah kalian penolong (pejuang) (agama) Allah?” maka muslim akan menjemput takdir kepahlawanannya hingga ajal menjemput.
Eh? Lantas, takdir kepahlawanan seperti apa yang dimaksud sampai sebegitunya? Tentu, menjadi generasi robbani, menjadi muslim yang sebenar-benar muslim dan memperjuangkan hak serta kewajibannya sebagai muslim, terutama dengan niat: ibadah pada Allah.
Tak perlu hal besar seperti yang dilakukan Frodo, Hamzah, atau Umar bin Abdul Aziz. Tapi cukup dengan mensyukuri apa yang kita miliki. Karena syukur itu adalah kata untuk tindakan: bersungguh-sungguh menjaga apa yang dimiliki dengan segala maknanya.
Dan kini, kepada yang terlupa, kepada yang sempat terlena, saya berani berkata: Rebut kembali takdir kepahlawanan kita, kawan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar