Rabu, 21 September 2011

Bapak dan Mama

Didorong-dorong seorang teman untuk menorehkan sesuatu terkait mama dan bapak, kedua orangtua saya. Dua orang yang menurunkan bakat kritis, organisatoris, ramah, dan welas asih mereka (meski sedikit) pada saya. Eh, kok jadi narsis gini? Nggak apa-apa deh. Bukan narsis, hanya mensugesti hal baik pada diri sendiri :D

Bapak adalah lelaki berumur 54 tahun saat ini, meski di KTP kelahiran Juli 1959. Bapak pernah bilang, kalau tidak salah di KTP itu umurnya lebih muda 2 tahun. Sampai sekarang, secara hukum negara usia Bapak memang 57 tahun. Tak apalah, lelaki paruh abad tetap Bapak saya berapapun usianya. Sering saya menangis bila menatapi lekuk-lekuk keriput di wajahnya. Ya Allah, saya belum memberi apapun untuk Bapak. Padahal Bapak tak pernah perhitungan untuk anak tunggalnya ini. Saya baru bisa memberikan doa dan beberapa hadiah kecil serta masakan bekal beliau. Saya baru bisa mengurusi rumah beliau saja. Saya belum berbuat apapun layaknya beliau berbuat untuk saya, anaknya.

Masih saya ingat ketika saya TK, Bapak di sela pekerjaannya sebagai satpam masih mengantar saya ke sekolah dengan sepeda ontel. Meski tidak setiap hari, tapi itu sangat saya sukai. Ketika anak lain dijaga, ditunggui di TK oleh ibu masing-masing atau 'bibi', saya hanya bisa mencium tangan Bapak sambil mendengar sedikit pesan beliau seperti "belajar yang bener". Ya, meski saya anak tunggal, saya bukanlah anak yang keinginannnya selalu dimanja seperti kebanyakan anak tunggal lainnya. Ketika teman TK saya mulai mengenal jajanan, Mama dan Bapak tak henti-hentinya menegaskan tentang perlunya berhemat dan sehatnya bekal. Ya, keduanya bukanlah lulusan S1, malah Bapak bukan siswa yang lulus SD. Tapi wawasan keduanya begitu tepat untuk mendidik saya.

Saat SD adalah masa yang begitu manis untuk saya. Sebelum bel masuk, biasanya Bapak kalau mengantar selalu membaca koran. Beliau akan pergi dari sekolah setelah yakin putrinya duduk di kursi kelas. Dan saya yang masih malu-malu karena masih kelas 1 SD, ikut membaca koran. Meski terbata dan bersuara lantang, Bapak tidak berkeberatan berbagi kursi di ruang tunggu. Sesekali Bapak mencoba membimbing saya membaca bila ada kata yang sulit. Ya, Bapak menularkan hobi bacanya pada saya hingga saat TK saya sudah bisa membaca, dan kelas 1 SD bacaan saya lumayan 'berat' bagi anak seusia saya, sebuah koran yang memang bahasa dan isinya tidak kacangan.

Bapak mulai tidak menunggu saya masuk kelas saat saya menginjak kelas 3 SD. Beliau mulai percaya saya ada di kelas dan hanya mengantar sampai pintu gerbang sekolah. Perlahan agak jauh, dan Bapak benar-benar tidak mengantar lagi sejak saya kelas 6 SD. Kata Bapak yang sejak saya kelas 3 SD menjadi supir, Bapak sibuk. Ya, tak apa. Saya sangat ingat saat tahun 1994-1999. Ketika teman-teman diberi uang jajan hingga Rp 2.500, saya hanya Rp 100. Kalau kurs sekarang, saya hanya jajan Rp 1.000. Hehe, sampai sekarang, saya jadi jarang jajan. Kalaupun pergi, jajan hanya ketika benar-benar lapar dan memang tidak membawa bekal. "Penghasilan' saya meningkat jadi Rp 500 saat kelas 6 SD karena saya harus pulang lebih siang untuk persiapan ujian. SMP, wah, masih Rp 500, naik menjadi Rp 1000 waktu banyak pendalaman materi. Irit atau pelit? Entah. Saya hanya tahu bahwa orangtua saya bukan orang berlebih materi saat itu, jadi saya terima bila diberi dan tidak meminta bila tak punya ^.^ *semoga seterusnya pun begitu pada suami dan anak kelak.

Bapak memiliki kemampuan yang menurun pada saya. Bapak suka bercerita, sangat suka. Utamanya kisah wayang dan ketoprak. Yap, dulu Bapak adalah anggota Karang Taruna dan ikut dalam grup ketoprak, wayang orang, gendhing. Kesenian Jogja yang sangat Bapak banggakan. Dan kesukaannya bercerita menurun pada saya. Tiap kali Bapak dapat tugas dari bos, saya diajak naik mobil beliau. Hampir selalu saya diminta bercerita kisah para Nabi atau buku apapun yang sudah saya baca. Saya maklumi sekarang, Bapak belum sempat mendalami Islam di masa mudanya seperti saya, dan beliau memiliki prinsip sendiri dalam menjalani Islam. Meski tak begitu paham hadist, ayat-ayat, tapi beliau malah lebih mampu menjalani yang Rasulullah Muhammad saw ajarkan dibanding saya dan mama yang tentunya berkesempatan mendalami Islam lebih banyak. Ya Allah, sayangi dan lindungi beliau dalam Kasih SayangMu ^.^

Saya sangat merasakan kasih sayang beliau sejak dulu, terutama saat akan menikah. Ya, itu hal terbesar dalam hidup saya karena saya akan berpindah penanggung jawab. Berkali-kali saya berproses, Bapak belum menunjukkan persetujuan ataupun penolakan. Tapi kedua dari terakhir Bapak begitu pandai menunjukkan ketidaksetujuannya. Sikap beliau yang berwibawa, membuat saya segan untuk menanyakan langsung. Sehingga begitu banyak permulaan (basa-basi) untuk sampai ke poinnya. Ketika jelang pernikahan pun, saya semakin mendekat pada Bapak, meski nantinya sementara saya akan tinggal dengan Bapak dan Mama. Tapi pasti rasanya beda.

Dan benar, Bapak dengan sikap kalem, pendiamnya, mampu membuat saya semakin hormat pada beliau. Tak mampu sedikitpun saya mengelak perintahnya sejak dulu hingga sekarang. Bapak yang penuh hormat pada orang lain, welas asih pada tetangga, suka berorganisasi, dan bersahaja itu telah *eh baru diomongin orangnya mampir ke rumah, pulang sebentar di tengah tugas. sssttt, jangan bilang-bilang Bapak, ya...* memberikan saya banyak ilmu untuk hidup bermasyarakat dan mendidik anak kelak.

Bapak itu perfeksionis lho. Meski saya sudah mengepel lantai, kalau dirasa belum bersih maka tak segan beliau akan menyuruh saya mengepel ulang atau mengepel sendiri yang sering saya rengek supaya saya yang melanjutkan. Kebersihan itu nomor satu untuk Bapak. Jadilah saya terbiasa membereskan rumah sejak SMP *TK-SD ada saudara mama yang mengasuh saya*. Untung juga punya rumah kecil, nggak begitu lelah kalau berbenah. Saya membayangkan rumah besar orang-orang kaya itu, apa jadinya kalau saya membereskan rumah sebesar itu sendirian?

Sejak tadi saya bicarakan Bapak. Mama sendiri? Ohoho, beliau punya tempat tersendiri di hati saya. Mama termasuk perempuan feminis lho, hehe. Tapi beliau kuat sebagai istri dan ibu rumah tangga meski juga bekerja hingga usianya 40-an ini. Dulu, mama mengandung saya sampai 9 bulan. Terdengar biasa, ya? Tapi, kalau saya tulis: mama mengandung saya selama 9 bulan dan bekerja nyaris 24 jam sehari sebagai pembantu rumah tangga saat hamil. Masih terdengar biasa, tidak? Oh, biasa, ya? Mungkin bagi pembaca hal itu biasa. Tapi kalau saya melihat sebagian kondisi teman-teman dan family saya yang hamil harus di rumah tanpa kegiatan berat, mama adalah perempuan kuat bagi saya. Sering saya bertanya, apa sih rahasianya mama bisa membawa saya dengan resiko keguguran tapi tetap bekerja di usia 19 tahunnya?

"Semangat. Kamu yang semangati mama, nduk"

Itukah kekuatan perempuan? Entah. Tapi saya sering tercekat kalau serius mendengar cerita-cerita mereka berdua. Saat saya belum 3 tahun, mama menitipkan saya pada Mbah Kakung. Dan di Jakarta, mama sering tidak tidur mengerjakan konveksi, memasang label ukuran baju tentara yang selalu bertumpuk tiap hari. Tidak mendapat jatah sahur dari bosnya. Ya Allah, kumohon lagi, lindungi dan sayangi Mama dan Bapak. Mama mengontrak rumah yang bahkan selonjor saja susah. Kata mama, tidur pakai tikar karena lantainya tanah. Kalau tidur, kaki mama dan Bapak keluar rumah kontrakan saking sempitnya. Ternyata istilah RSSSSSSS itu bukan lelucon, ya?

Kehidupan mulai membaik saat Bapak jadi satpam. Mama membawa saya ke Jakarta dan kami mengontrak 1 kamar 2 x 3 m2. Mama hampir selalu kesulitan tapi akhirnya berhasil menahan saya yang merengek ini itu. Maklum, anak usia 4-5 tahun masih suka mainan yang lewat, kan?

Mama mendandani saya dengan celana (bukan rok. Saya hanya pakai rok saat saya ulang tahun). Meski saya akhirnya tidak jadi 'jajan', tapi mama hampir selalu membelikan saya mobil-mobilan beberapa pekan sekali. Saya pun harus puas dengan mainan kecil saya dan beberapa buku yang saya baca.

Sejak kecil saya seolah dididik untuk tidak punya banyak keinginan seperti anak lain. I mean, jiwa konsumtif. Mama yang paling sering menekankan tentang keuangan keluarga pada saya sejak kecil. Yap, mama tidak mengajarkan saya konsumtif, tapi mama juga tidak merelakan saya jadi kuper. Sejak kecil beliau mengenalkan saya dengan berbagai jenis makanan 'orang kaya'. Berbagai istilah 'modern', juga berbagai tempat meski saya belum kunjungi. Sepertinya Bapak dan mama beruntung di tengah kesulitannya. Memiliki bos yang katanya galak tapi juga ternyata bos itu yang membuat mama kenal dunia kalangan atas tanpa harus menghamburkan banyak uang sehingga menjadi kalangan atas. Begitupun Bapak, jadi berwawasan luas karena sering diberi tugas yang tak sesuai jobdesc beliau. Bapak dan Mama memang tak dapat dipisahkan kalau dalam sebuah penceritaan.

Mama bukanlah seorang ibu yang mendampingi anaknya saat mendaftar ke sekolah yang baru sehingga saya mendaftar sekolah sendirian sejak SMA. Saat SMP Bapak yang mendaftarkan, itupun hanya di hari pengambilan formulir. Sisanya saya lakukan sendiri. Mama bukanlah ibu yang selalu mengambilkan rapor dulu. Tapi, itu semua karena kesibukan beliau. Mama adalah seorang ibu penuh harapan terhadap anak satu-satunya ini. Berpikir positif selalu diajarkan mama bila saya curhat. Mama bukanlah ibu-ibu pengajian yang pandai membaca rawi, tapi beliau bukan pula seorang pembenci Islam. Mama bukan ibu-ibu arisan yang berkumpul, tapi beliau penggerak kegiatan positif di lingkungan. Dan mama adalah perantara saya dengan Bapak untuk masalah-masalah besar. Utamanya pernikahan saya. Mama yang ekspresif, menunjukkan kesukaan maupun ketidaksukaannya dengan gamblang.

Mama yang supel, hampir selalu mengenal teman saya. Heran, tapi senang rasanya ketika menyadari bahwa Mama bisa 'nyambung' dengan sebagian besar teman saya, bahkan beberapa di antaranya sering curhat ke Mama. Iya, deh, berbagi mama. Mama bukan orangtua yang meninggalkan anaknya dengan tamu. Hampir pasti Mama akan menemani anak dan tamunya. Bukan karena tak percaya tapi lebih karena Mama ingin mengenal teman anaknya. Mama sering bilang, Mama suka kalau teman saya ke rumah dan bisa ngobrol dengan mereka. Mama malah menganggap beberapa teman seperti anaknya sendiri.

"Pokoknya Mama mau bikin ruang khusus di depan rumah nanti buat nginep teman-temanmu yang jauh-jauh itu." Hehehe, Mama selalu saja begitu. Malah, dulu Mama selalu membawakan bekal untuk seorang teman kampus dan menitip salam.

Sampai sekarang, saya hanya melakukan sedikit hal yang membahagiakan mama, belum ammpu membalas kebaikan beliau. Tapi, semangat mama, kekuatannya, sikapnya mendidik anak terutama dalam etika serta keuangan, akan saya contoh terus. Mama, teman curhat yang belum ada gantinya. yeah, bagaimanapun mas Dian adalah laki-laki, beda dengan Mama yang perempuan. Jadi, teman curhat seperti Mama belum ada gantinya dunk ^.^

Beruntungnya saya lahir, besar, dan belajar dari kedua orangtua hebat seperti Mama dan Bapak. Thanks a lot, my dear parents. Always loving you, and i love the way you love me ^.^

Ya Allah, Tuhanku Yang Maha Segala, kumohon lindungi dan sayangi kedua orangtuaku, Bapak dan Mama, dengan segala sayangMu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar