Kamis, 22 Desember 2011

Naina

“Naina.”

“Saya, Bu.”

Ini hari pertama perkuliahan semester ini. Dan baru saja aku mendengar sebuah nama yang asing. 6 semester lalu, nama Naina tidak ada dalam angkatanku. Atau aku yang memang belum tahu? Segera kualihkan pandanganku ke sumber suara selain Bu Karin, dosenku. Ya, aku hanya ingin tahu yang mana Naina. Hanya itu. Aku berhak sekaligus wajib tahu karena aku wakil ketua sementara Andri sang ketua tidak hadir. Dasar, selalu organisasi bentukannya yang diutamakan daripada kuliah.

Kuamati Naina. Perempuan berjilbab yang lebarnya wajar, melebihi kecilnya jilbab teman-teman selama ini. Ataupun tak selebar jilbab teman-teman organisasi Islam di kampus ini. Naina. Oke, nama itu terekam dalam syaraf-syarafku. Dia kini menjadi salah satu tanggung jawabku. Aku tak begitu memperhatikan wajahnya. Ya, ada sesuatu dalam dirinya yang membuatku tak bisa memandang wajahnya seperti aku memandang gadis lain, juga wajah pacarku. Seperti sebuah wibawa.

“Kamu kelas lain ya?” tanya Bu Karin. Aku yang duduk di depan Bu Karin hanya diam, seperti yang selama ini kulakukan. Aku hanya diam sebagaimana mereka mengenalku.

“Bukan,  Bu. Saya mahasiswa pindahan,” ujar Naina. Pindahan? Sekilas kulihat Bu Karin mengisyaratkan agar Naina maju. Semakin dalam saja kutundukkan wajahku. Tapi kupingku juga semakin tajam, menyimak pembicaraan mereka. Aku harus tahu tentang Naina. Harus!

“Jadi?”

“Saya mahasiswa pindahan, Bu, dari Universitas Buniana. Saya pindah karena satu dan lain hal,”

“Oh begitu. Selamat datang dan selamat berjuang, ya.”

“Terima kasih, Bu.”

Kulihat Naina kembali ke tempat duduknya. GLEK! Dia perempuan bukan ya? Gaya jalannya….sangat tomboi!
------------------------

Hanya dua mata kuliah kulalui bersamanya semester ini. Siapa lagi yang kubicarakan kalau bukan Naina? Sebelum Naina, aku sudah beberapa kali bertemu mahasiswa pindahan dan mereka menyapa serta meminta nomor teleponku. Ya, tak lain dan tak bukan karena aku penanggung jawab kelas. Tapi Naina tidak meminta nomor teleponku. Bahkan menyapa pun tidak. Apa dia tidak berminat kuliah? Apa dia main-main? Pikiranku mulai terisi dengan Naina, naina, dan Naina.

“Ayang, kamu lagi ada masalah?” tanya kekasihku sore itu di teras mesjid. Baru saja kami selesai sholat Ashar.

“Nggak, Nai…eh”

“Nai? Siapa Nai?” Mata kami membelalak. Tidak, tepatnya mataku. Aku melisankan nama Naina di depan pacarku, kekasihku. Segera aku tergeragap, kugaruk kepalaku yang tak gatal, kebingungan.

“A…itu..euh, Naijib. Inget si Najib kan? Nah sekarang dia punya panggilan baru, Naijib,” jawabku asal. Kutarik tangan pacarku agar dia mendekat. Syukurlah dia tidak menolak, mata curiganya sudah menghilang, terganti mata manja seperti biasa. Aku suka itu. Dian, pacarku yang manis, polos, cantik di mataku. Tapi belum seberwibawa Naina. Ah! Kenapa Naina lagi?

------------------------

Aku baru selesai kuliah Sinema kala waktu menunjukkan pukul 10.00. Segera saja aku menghambur ke jendela pojok ruangan, melongok ke luar. Ruangan ini bersebelahan dengan gerbang kampus sehingga aku bisa melihat siapapun yang lewat. Dan naina adalah tujuan mataku. Aku berharap bisa melihatnya. Setidaknya aku tahu hari ini kami akan kuliah bersama. Aku ingat tadi sesaat usai kuliah Sinema, kudekati Mbak Rini, orang yang sering terlihat bersama Naina, menceritakan tentang Naina.

“Dia gadis manis, baik.” Ujar Mbak Rini. Oh begitu.

Ah, sudahlah. Sepertinya dia tak muncul hari ini. Sedikit putus asa kupakai tas ranselku keluar kelas, menyusuri koridor menuju mushola.

Ah! Naina ada di sisi koridor tak jauh dariku. Rupanya dia di sana. Senyum kecil terbentuk di bibirku. Dengan adrenalin yang bersicepat dengan waktu, kudekati ia. Kumantapkan langkahku kemudian berhenti di depannya. Ia duduk di lantai koridor, begitu tekun membaca buku. Sebenarnya aku hanya ingin melihatnya saja. Hanya itu. Tapi, lisanku malah meluncurkan tanya.

“Udah di sini aja? Dari jam berapa?” tanyaku. Waduh, buat apa aku tanya hal itu? Bisa-bisa Naina yang kuketahui agak garang dengan laki-laki akan ketus menjawab. Sedikit kulangkahkan kakiku untuk mundur.

“Dari pagi, kan Nai kuliah pagi,” jawab Naina lembut. Eh? Lembut? Dia nggak segalak yang dibilang teman-teman?

“Oh, gitu. Kuliahnya kapan aja emang? Padat ya?” tanyaku lagi.

“Cuma libur Sabtu. Senin sampai Jumat full, Gi,” jawab Naina akhirnya. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Teman-teman menyebutnya salting: salah tingkah. “Kenapa, Gi?”

“Ah, enggak..Cuma..itu..kata temen-temen…pokoknya kamu tuh aneh-aneh deh,”

Ganti kening Naina berkerut. Segera aku pergi dari sana tanpa mengucap sepatah katapun. Ya, aku takut ditanyai lagi. Aku tidak bisa lagi menahan merah wajahku kalau berhadapan dengannya.

------------------------

Ini kali ke sekian aku duduk di dekat Naina. Ya, aku sedang mencoba mengenalnya karena ternyata dia bukan tipe perempuan yang ingin mencoba mengenalku. Dia sering terlihat menangkupkan kedua tangannya dan menaruh di dagu atau tidur di meja kuliah. Kalau tidak, aku akan mendapatinya sedang membaca. Aku hanya berani mendekatinya kalau dia sedang bersama Mbak Rini.

“Ada episode seru di Sherlock serial, Mbak,” ujar Naina pada Mbak Rini, yang otomatis juga kudengar. Lalu ia mempraktikkan posisi kesukaan Sherlock Holmes—detektif kesukaannya—di depan kami. Kemudian ia menangkupkan kedua tangannya dan menempelkannya di dagu. Seperti biasa kulihat selama ini ketika ia sedang sendiri.

“Terus Watson nggak ngeliat ke Sherlock waktu ngelempar pulpen, Sherlock juga nangkapnya tanpa ngeliat Watson. Keren!” ucapnya riang. Dan entah kenapa mukaku memerah melihat wajah riangnya. Kulihat Mbak Rini menyimak seperti biasa. Sementara keriangan tak hilang dari wajah manis Naina.

“Mbak dulu suka Power Rangers?” tanya Naina akhirnya. Sepertinya aku bisa seperti anak SD kalau mendengarkan Naina. Tapi aku suka caranya berkisah. Aku suka, itu saja. Melihat Mbak Rini mengangguk, Naina meneruskan,”Suami Nai suka banget.” Aku dan Mbak Rini tertawa. Lucu juga suaminya.

Eh!? Suami!? Naina punya suami?

“Su..ami?” tanyaku terbata. Serasa ada godam di dadaku. Entah, rasanya tidak senang saja mendengarnya.

“Iya. Egi belum tahu ya?” tanya Naina masih riang. Mbak Rini yang sudah mengenalku lebih dari 6 semester kini menyodorkan gelas minum kemasan hasil jajannya tadi.

“I..iya. Belum..tahu..”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar