Minggu, 02 November 2014

Tentang Dia yang Belum Berubah

"Ayolah, Rin, bantu buatkan Laporan Pertanggungjawaban kepengurusan kita, terakhir kali lho ini," ujar Rial di telepon. Aku hanya bisa mengatur nafasku yang terengah.

"Tapi..."

"Sekali saja, terakhir. Oke, sekretarisku?" bujuknya tanpa tahu kondisiku sebulan terakhir ini.

"Rial, aku lagi sakit," jawabku akhirnya.

"Nanti langsung sembuh kok. Oke, daah," ujarnya masih keras kepala sebelum mengakhiri percakapan. Telepon diputus. Aku? Hanya bisa diam dengan menahan bulir bening di sudut mataku agar tak jatuh, setidaknya jangan jatuh sekarang.

"Rin? Kenapa? Kalau mau ke toilet biar kubantu," ucap Gina sepupuku. Ya, bahkan ke toilet saja harus dibantu. Separah inikah sakitku? Katanya hanya gejala tipes.
_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_

Ingatan itu kembali berkelebat kala aku berdiri lagi di depan ruang ini. Sebuah ruang mungil berisi perlengkapan sebuah organisasi pemerintahan mahasiswa. Dulu kukenali namanya Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Dulu, sebelum kejadian itu muncul, ketika aku sakit. Dulu, ketika aku masih menjabat di sini. Dulu, dan rasa itu kembali. Rasa yang tiba-tiba menyergapku dalam was-was.

"Rin? Kamu di sini?" tanya seseorang yang suaranya sangat kukenali. Tanpa menolehpun aku sudah tahu siapa dia. Seseorang yang meningkatkan rasa takutku. Takut berlebih hingga kurasakan detak jantungku semakin cepat dengan keringat dingin yang bermunculan.

"Riiin!! Di sana tempatnya, bukan di situ," panggil Gina seolah menyelamatkanku. Kulihat Gina menghampiriku, mendekat ke arah kami. "Eh, ada Rial. Rin? Kok kamu pucat? Tadi masih sehat," lanjutnya lagi.

"Rin? Kamu sakit?" tanya Rial lagi di belakangku.

"A..apa pedulimu? Ayo, Gin," balasku dengan nada tinggi. Tak kuupedulikan lagi lelaki itu, hanya rasa was-wasku saja yang harus kupedulikan saat ini.

"Rin, masih trauma ya sama Rial?" tanya Gina di perjalanan setelah kami jauh dari Rial.

"Mungkin. Apa iya trauma itu akan hadir terus kalau aku bertemu dengannya?"

"Entah, Rin. Tapi kamu pucat banget tadi,"

"Sakit itu....berlipat-lipat rasanya, Gin. Mungkin lebih sakit daripada waktu diputusin pacar."

Kurasakan Gina menggenggam tanganku.

"Rin, yang kuat, ya. Kita belajar supaya sakit itu hilang."

Akupun mengangguk mengiyakan.

Andai Rial peduli dulu bahwa dedikasiku tak berkurang sedikitpun. Seharusnya ia tahu bahwa aku sakit dan harus bedrest saat itu hingga sebulan. Andai...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar