Untuk apa menulis?
Sejak SD saya sudah menyukai dunia kepenulisan, meski memulainya dengan fabel. Terinspirasi dari Bugs Bunny dan buku Muhammad Isa Dawud (isinya tentang dunia bawah tanah).
Kembali, untuk apa menulis? Sekadar suka. Suka ketika tulisan saya dibaca teman-teman. Maka, saya tidak bosan membagikan karya saya untuk dibaca teman-teman yang penasaran.
Beranjak remaja, saya semakin sering menulis cerpen, serial, maupun diary. Dikirim ke media massa? Tidak. Jadi konsumsi pribadi dan teman-teman saja. Itulah kenapa saya tidak serius mengikuti lomba-lomba kepenulisan karena membaca-menulis adalah hobi.
Mengenal Rohis, ekstrakurikuler keislaman di SMA, saya menyadari bahwa hobi saya bisa dimanfaatkan untuk mendulang pahala. Sejak itu saya melakukan berbagai riset melalui bacaan dan berita untuk membuat tulisan.
Hingga kini, saya tidak begitu bangga sudah menerbitkan beberapa antologi. Sombong? Bukan. Saya merasa itu bukan pencapaian saya. Itu hanya lembar bagian perjalanan kepenulisan saya. Pencapaian yang saya harapkan adalah orang-orang membaca tulisan saya dan mendapat hikmah darinya. Simple? Yep.
Itu sebelum negara api menyerang. Eh? Yap. Suami saya penggila kompetisi kepenulisan dan sering memamerkan karyanya pada saya. Seolah ingin mengatakan: nggak perlu jadi sarjana sastra biar bikin buku. Bambaaaaang! Saya yang sejak awal menganggap suami saya sebagai rival jadi bersemangat mengikuti kompetisi. Begitulah, saya hanya ingin menang dari suami yang tidak dapat saya kalahkan soal menulis. Tapi saya tidak berhenti. Saya suka menulis. Itu saja.
Jadi, untuk apa menulis versi teman-teman?