Pagi sudah pamit ketika jam menunjukkan pukul 10.30 WIB. Ya lewat sedikit, laaaah. Kali ini saya akan menelusuri Salah satu sisi Kuningan, Jakarta Selatan, bersama mama dan tante saya.
Kami mengawali kisah dengan menaiki taksi biru. Ada kisah menarik saat kami menaiki taksi. Yap, pak supirnya senang mengucap 'hasbiyallah' dan kalau bicara tak jauh dari agama. Yeah, pak supir agamis itu sangat ramah pada kami, penumpangnya. Alhamdulillah, kami mendapati taksi serta supir yang mampu menjadi penyejuk ruhani.
Akhirnya setelah melewati jalan Mampang Prapatan, berlanjut ke jalan H.R. Rasuna Said, taksi berbelok ke utara, memasuki kawasan Mega Kuningan. Sebuah kawasan dengan jalan melingkar. Ya, sejak memasuki kawasan ini, tak henti penumpang taksi biru ini, kami, berceloteh tentang pengeboman.
Setelah memutari lingkar Mega Kuningan ini, kami bersiap memasuki sebuah gerbang yang dijaga 4 petugas. dua di antaranya memakai seragam biru-biru, sedang dua lainnya memakai seragam biru-putih. Ada yang menarik, bahwa salah satu petugas di gerbang itu perempuan!
Setelah melewati pintu detektor, kami menuju Lobby untuk menanyakan ruang seminar. Saya mendekati tangga bersejarah. Ya, peristiwa pengeboman itu mau tak mau masuk dalam sejarah hotel ini, kan? saya lihat tangga melingkar itu ke arah bawah. tak ada suasana mencekam di sana.
Setelah mengamati tangga, kami pun menuju ruang seminar yang terbilang mewah. AC dimana mana, kursi yang sangat nyaman, makanan yang wah. apa lagi? o iya itu semua GRATIS :D
Sepulang seminar Mama mengajak kami menyusuri jalan di lingkar itu. Serasa di luar negeri! Jalanan lebar, bersih, asri. Tulisannya kebanyakan berbahasa Inggris atau tulisan kanji. Bangunannya juga. Yeah, ada beberapa kedutaan di daerah ini.
Tampilkan postingan dengan label kisah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kisah. Tampilkan semua postingan
Sabtu, 20 Juli 2013
Minggu, 11 Maret 2012
Negeri 5 Menara, eh?
Sore itu saya diajak seorang sahabat untuk menonton film. Yeah, sebenarnya saya tak begitu tertarik dengan buku berjudul seperti film yang akan kami tonton. Tapi, tak salah kan mencoba nonton? Dan saya berhasil untuk kedua kalinya nonton film yang tak saya baca dulu bukunya. Tepatnya, film lokal.
Sebelum nonton, jauh hari saya sudah disuguhi berita tentang penulis dan film ini. Setidaknya saya sudah mendapat bayangan seperti apa wajah sang penulis sekaligus pengalam asli. Kak Fuadi. Dalam film disebut sebagai Alif. Excited? Tidak. Saya biasa saja. Dan saya mencoba siapkan diri merekam apa-apa di dalam film ini, untuk saya ambil pelajaran dan saya kritisi sesuai kapasitas dan bidang ilmu saya. Gaya banget sih, heuheueheu.
"Eh! Kok mirip!?" tanya saya ke sahabat di sebelah.
"Ya, dicari yang mirip, lah," jawabnya santai. Oke, oke, saya mulai merasa tertantang. Meski gemas karena sahabat saya menanggapi biasa saja. Yuk, kembali ke film. Khususnya ke adegan-adegan yang akan kita bahas. Oh iya maaf ya kalau belum sempurna, saya bukan jurusan perfilman, hanya mempelajari drama saja ^_^.
Kali ini saya terkagum dengan sang ayah Alif. Ketika transaksi jual-beli kerbau terjadi. Tangan sang ayah dimasukkan ke sarung yang melingkari leher sang pembeli, kemudian mereka berjabat tangan. Jabat tangan itu tak sembarangan karena diselingi penawaran. Ah saya bingung bagaimana membahasakannya secara tulisan. Intinya mereka tawar menawar dengan hitungan jari saat berjabat.
Setelah itu sang ayah mengajak Alif (yang ngambek) diskusi. Intinya, sang ayah cuma memberi petuah bahwa hidup itu dijalani dulu, kenali dulu, baru kita akan tahu apa yang harus dijalankan dalam hidup. Ya, saya terkesan dengan cara beliau yang demokratis. Cara bijak beliau, membuat saya merindukan ayah (lho?), maksud saya membuat saya bersyukur karena ayah saya juga begitu, demokratis dalam keluarga. Pantas saja ini jadi film keluarga, di dalamnya berisi ajaran juga bagaimana seharusnya seorang ibu dan seorang ayah bersikap atas kondisi: anak yang puber dan keputusan mereka sebagai orangtua. Tak memaksa atau sekadar membiarkan. Lebih mengarah pada saran, menjadi teman sang anak ketika ada masalah di depan.
Oke, akhirnya kita harus beralih ke adegan berikutnya yang membuat saya terkesan. terkesan? Mungkin tepatnya histeris, hehe. Saat itu adegannya adalah hari pertama santri belajar dengan seorang ustadz. Siapa? Ustadz Salman Ali namanya. Ustadz ini menjadi salah satu tokoh penting dalam film karena melalui beliaulah 'mantra' man jadda wajada muncul. Begini kisahnya.
Seorang ustadz berpeci dan kemeja biru serta celana panjang hitam masuk ke dalam kelas membawa pedang tumpul dan sepotong kayu. Setelah mengucap salam dan mengenalkan nama, beliau meotong kayu dengan pedang tumpul itu.
"Thomas! Thomas!" teriak saya ke sahabat di sebelah.
"Apaan sih berisik," sahutnya meski teriakan saya tidak seheboh anak labil yang melihat lelaki cantik negeri ginseng.
"itu Thomaaas..." saya heboh lagi. Yap, pemeran ustadz Salman itulah yang mengejutkan saya. Pemeran Thomas di Film Merah Putih itu kini berpeci dan berkemeja biru, berperan sebagai pemotong kayu dengan pedang tumpul. Dan sejak di Film Merah Putih (juga Merantau) saya memang suka dengan karakter dan aktingnya.
"siapa yang bersungguh-sungguh, dia akan berhasil. man jadda wajada" ucap Thomas, eh, Ustadz Salman, sambil menenangkan diri yang kelelahan usai mencoba memotong kayu.
hanya dua scene itu yang saya rasa sangat perlu saya bahas kali ini. Saya jadi ingin anak saya kelak sekolah di Gontor dan melanjutkan di Oxford (aamiin) semoga Allah mengabulkan harapan ini. amiin... Ada lagi dari teman-teman?
*catatan: saya sampai sekarang masih belum minat membaca bukunya dan tak begitu tertarik dengan 'mantra' nya. kenapa ya?
Rabu, 22 Februari 2012
Penodong Konyol -?-
Terima kasih untuk hari ini, Ya Rabb. Ada beberapa pengalaman baru yang May dapat. Oke, mungkin akan sesekali keluar kata 'saya' untuk menunjuk May. Tapi tak apa. Kisah kali ini saya yakin (tuh kan muncul 'saya'nya) akan membuat teman-teman berkerut, takut, dan terbahak (mungkin).
Hari ini saya berencana untuk shopping dengan kedua teman kampus. Oke, kami menuju suatu pusat perbelanjaan (sekaligus terminal) untuk sekadar transit angkutan umum. Yeah, saya pengguna setia angkutan umum sepertinya. Di tengah perjalanan, seorang pengamen masuk ke dalam angkot, menyanyikan lagu tentang panasnya Surabaya. Yah, tak apa, mungkin nostalgianya dengan kota Surabaya meski ini di Jakarta.
Selesai menyanyi, lelaki berumur itu menadahkan tangannya ke arah kami, penumpang angkot yang hanya berjumlah 4 orang. Tak lupa saya tekankan bahwa kami semua perempuan. Di sinilah kekonyolan itu terjadi. Saya dan Diah (nama samaran) memberi masing-masing uang pada sang pengamen, tapi tak lama kemudian pengamen itu kembali menadahkan tangannya pada kami. Oke, kali ini mimiknya bukan memelas seperti tadi, tapi sudah sangar. Kayu yang tadinya kami kira jadi instrumen mengamen pun mulai digoyangkan oleh bapak tadi.
"Maaf, Bang, tadi sudah," ucap seorang perempuan berdandan ala korea di sebelah saya.
"Maaf, Pak, bukannya sudah, ya?" tanya saya menolak halus. Lelaki itu beralih pada Diah dan Rin (nama samaran juga).
"Kan udah, Pak," kata Diah.
"Maaf, ya Pak,"
"Nggak cukup, Mbak. Kurang," kata lelaki tadi masih dengan nada memelas. Eh? Takaran cukup itu gimana ya?
"Kenapa dibuang?" tanya Rin. Sontak saya terhenyak. dibuang?
"Dibuang?" tanya saya heran, masih menekan nada supaya ndak tinggi.
"Iya, dibuang,"
"Nggak cukup, Mbak, buat makan," ucap Bapak itu, ngotot. Oke, sepertinya harus ada win-win solution (solusi sama-sama menang). Langsung saya keluarkan sekerat roti bekal yang dibawakan mama.
"Maaf, Pak, mungkin nggak kenyang, tapi semoga cukup untuk ngganjal perut Bapak," ucap saya dengan nada yang masih ramah. Yap, saat ditodong begini kita nggak boleh kelihatan takut, kan? Bahkan kalau perlu bersiap. Bapak itu masih menadahkan tangannya.
"Saya butuh uang, Mbak," ucapnya lagi.
"Tiap orang juga butuh uang, Pak, nggak cuma Bapak aja," ucap Rin. GILA! Ni anak pengen saya jitak rasanya. Bapak itu kembali pada saya, menadah. Tapi dengan nada dan wajah bersahabat (diusahakan biar nggak kelihatan ketakutan) saya tetap menyodorkan roti.
"Ini, Pak. Makan, kan?"
Bapak itu beralih pada Rin dan Diah.
"Semua orang punya kebutuhan masing-masing, lagian kenapa dibuang? Kan daripada Bapak buang dan d di sini, Bapak bisa ngamen ke angkot lain dan Bapak bisa dapet tambahannya," sahut Rin. Cukup, Rin sangat gila menurut saya. Tapi mungkin itu caranya membantu orang.
Bapak itu bolak balik dan mendapati tawaran yang sama: roti. atau kalau ke arah Rin, oh, tentu saja dapat jawaban itu. Hingga akhirnya dia ayunkan kayu itu.
"Bang! Turun sini aja!" teriak lelaki itu sambil memukulkan kayu ke jok penumpang, tanpa mengenai kami. Kesal? pasti. Kalau saya ada di posisi dia yang butuh uang, pasti sangat kesal karena ditawari roti, apalagi ceramah. Tapi, saya cuma bisa bilang: Bapak tadi menodong pada orang yang salah :D *eh, atau kaminya yang salah menyikapi? entahlah, tapi setidaknya Bapak saya bisa tersenyum mendengar cerita ini sambil berkata 'banyak berdoa, ya, nduk,'. Dan saya sadar, kekonyolan tadi sebagai bentuk penjagaan Allah pada kami, hambaNya. Dan yang tak dapat saya lupakan adalah: roti bekal dari mama. tanpa roti itu mungkin saya tak bisa menawarkan solusi praktis pada Bapak tadi. Ya, secara tidak langsung mama juga menjaga saya. Thanks a lot, Rabb, mama, Bapak ^_^
Hari ini saya berencana untuk shopping dengan kedua teman kampus. Oke, kami menuju suatu pusat perbelanjaan (sekaligus terminal) untuk sekadar transit angkutan umum. Yeah, saya pengguna setia angkutan umum sepertinya. Di tengah perjalanan, seorang pengamen masuk ke dalam angkot, menyanyikan lagu tentang panasnya Surabaya. Yah, tak apa, mungkin nostalgianya dengan kota Surabaya meski ini di Jakarta.
Selesai menyanyi, lelaki berumur itu menadahkan tangannya ke arah kami, penumpang angkot yang hanya berjumlah 4 orang. Tak lupa saya tekankan bahwa kami semua perempuan. Di sinilah kekonyolan itu terjadi. Saya dan Diah (nama samaran) memberi masing-masing uang pada sang pengamen, tapi tak lama kemudian pengamen itu kembali menadahkan tangannya pada kami. Oke, kali ini mimiknya bukan memelas seperti tadi, tapi sudah sangar. Kayu yang tadinya kami kira jadi instrumen mengamen pun mulai digoyangkan oleh bapak tadi.
"Maaf, Bang, tadi sudah," ucap seorang perempuan berdandan ala korea di sebelah saya.
"Maaf, Pak, bukannya sudah, ya?" tanya saya menolak halus. Lelaki itu beralih pada Diah dan Rin (nama samaran juga).
"Kan udah, Pak," kata Diah.
"Maaf, ya Pak,"
"Nggak cukup, Mbak. Kurang," kata lelaki tadi masih dengan nada memelas. Eh? Takaran cukup itu gimana ya?
"Kenapa dibuang?" tanya Rin. Sontak saya terhenyak. dibuang?
"Dibuang?" tanya saya heran, masih menekan nada supaya ndak tinggi.
"Iya, dibuang,"
"Nggak cukup, Mbak, buat makan," ucap Bapak itu, ngotot. Oke, sepertinya harus ada win-win solution (solusi sama-sama menang). Langsung saya keluarkan sekerat roti bekal yang dibawakan mama.
"Maaf, Pak, mungkin nggak kenyang, tapi semoga cukup untuk ngganjal perut Bapak," ucap saya dengan nada yang masih ramah. Yap, saat ditodong begini kita nggak boleh kelihatan takut, kan? Bahkan kalau perlu bersiap. Bapak itu masih menadahkan tangannya.
"Saya butuh uang, Mbak," ucapnya lagi.
"Tiap orang juga butuh uang, Pak, nggak cuma Bapak aja," ucap Rin. GILA! Ni anak pengen saya jitak rasanya. Bapak itu kembali pada saya, menadah. Tapi dengan nada dan wajah bersahabat (diusahakan biar nggak kelihatan ketakutan) saya tetap menyodorkan roti.
"Ini, Pak. Makan, kan?"
Bapak itu beralih pada Rin dan Diah.
"Semua orang punya kebutuhan masing-masing, lagian kenapa dibuang? Kan daripada Bapak buang dan d di sini, Bapak bisa ngamen ke angkot lain dan Bapak bisa dapet tambahannya," sahut Rin. Cukup, Rin sangat gila menurut saya. Tapi mungkin itu caranya membantu orang.
Bapak itu bolak balik dan mendapati tawaran yang sama: roti. atau kalau ke arah Rin, oh, tentu saja dapat jawaban itu. Hingga akhirnya dia ayunkan kayu itu.
"Bang! Turun sini aja!" teriak lelaki itu sambil memukulkan kayu ke jok penumpang, tanpa mengenai kami. Kesal? pasti. Kalau saya ada di posisi dia yang butuh uang, pasti sangat kesal karena ditawari roti, apalagi ceramah. Tapi, saya cuma bisa bilang: Bapak tadi menodong pada orang yang salah :D *eh, atau kaminya yang salah menyikapi? entahlah, tapi setidaknya Bapak saya bisa tersenyum mendengar cerita ini sambil berkata 'banyak berdoa, ya, nduk,'. Dan saya sadar, kekonyolan tadi sebagai bentuk penjagaan Allah pada kami, hambaNya. Dan yang tak dapat saya lupakan adalah: roti bekal dari mama. tanpa roti itu mungkin saya tak bisa menawarkan solusi praktis pada Bapak tadi. Ya, secara tidak langsung mama juga menjaga saya. Thanks a lot, Rabb, mama, Bapak ^_^
Senin, 05 Desember 2011
[catatan perjalanan] Smart Fair di Kemang Village
Minggu pagi kujumpa teman
Sebaris lagu di atas saya rasa cocok dengan pertemuan saya bersama pedagang lainnya. Eh? Pedagang? Sekarang May pedagang?
Hehehe, iya. May berjualan buku sama tiket sekarang, dan saya rasa itu lebih menguntungkan dibanding internet sekadar buang pulsa untuk browsing ilmu (sedikit beud alokasinya), dan ada kesempatan untuk 'macem-macem' kalau nggak sibuk dagang. Yep, meski dagang, browsing nyari ilmu tetep laaah.
Minggu pagi itu, 4 Desember, saya menuju sebuah tempat asing bagi saya. Ya, baru sekali ini saya ke sana, Kemang Village. Sejenis pusat bisnis yang katanya ramai dan berdaya beli tinggi mengingat letaknya di tengah-tengah kaum jetset warga Kemang. Iya juga sih, apalagi banyakan expatriat di sini. Saya segera menuju parkir mobil, berharap menemukan rekan seperjuangan (cieee) bazaar di sana. Lho?
Iya. Saya kali ini tidak hanya sebagai penikmat kegiatan saja, tapi juga sebagai salah satu pemeriahnya ^_^. Hehe, saya ikut bantu jaga stand dagangan teman yang ikut seminar. Kaget ternyata ada 3 kegiatan yang diadakan penyelenggara Smart Fair lho. Ada lomba mewarnai buat anak-anak, ada seminar keuangan, juga ada bazaar. Eh ternyata Kemang Village juga mengadakan lomba anjing -__-'
Sebaris lagu di atas saya rasa cocok dengan pertemuan saya bersama pedagang lainnya. Eh? Pedagang? Sekarang May pedagang?
Hehehe, iya. May berjualan buku sama tiket sekarang, dan saya rasa itu lebih menguntungkan dibanding internet sekadar buang pulsa untuk browsing ilmu (sedikit beud alokasinya), dan ada kesempatan untuk 'macem-macem' kalau nggak sibuk dagang. Yep, meski dagang, browsing nyari ilmu tetep laaah.
Minggu pagi itu, 4 Desember, saya menuju sebuah tempat asing bagi saya. Ya, baru sekali ini saya ke sana, Kemang Village. Sejenis pusat bisnis yang katanya ramai dan berdaya beli tinggi mengingat letaknya di tengah-tengah kaum jetset warga Kemang. Iya juga sih, apalagi banyakan expatriat di sini. Saya segera menuju parkir mobil, berharap menemukan rekan seperjuangan (cieee) bazaar di sana. Lho?
Iya. Saya kali ini tidak hanya sebagai penikmat kegiatan saja, tapi juga sebagai salah satu pemeriahnya ^_^. Hehe, saya ikut bantu jaga stand dagangan teman yang ikut seminar. Kaget ternyata ada 3 kegiatan yang diadakan penyelenggara Smart Fair lho. Ada lomba mewarnai buat anak-anak, ada seminar keuangan, juga ada bazaar. Eh ternyata Kemang Village juga mengadakan lomba anjing -__-'
Minggu, 27 November 2011
Sepenggal Hikmah Malam
"Nduk, ada mi, nggak? Bapak mau dong, kalau ada," ujar Bapak. Lelaki berkaos dan bersarung itu berkata padaku. Kuiyakan dan kubuka kotak penyimpanan. Girangnya hatiku ketika mendapati aroma favorit Bapak ada di tanganku. Akhirnya akupun memasak mi instan sementara Bapak di luar, mengobrol dengan tetangga (yang juga bapak-bapak). Hadeh, nggak kalah sama ibu-ibu, kenceng ngerumpinya, batinku sambil sedikit tersenyum di dapur.
Tak berapa lama, kudengar Bapak seperti menyambut seorang tamu. Yap, sedikit lagi aku selesai dengan ritual memasakku.
"Lex, masih inget aja saya di sini," ujar Bapak pada tamu yang dipanggil "Lex" itu. Kucoba mengakses ingatanku tentang suku kata "Lex". Sebuah nama mungkin. Tapi siapa? Bapak belum mengenalkan padaku lelaki itu. Kutawarkan teh pada tamu tersebut, dan ketika di dapur, tak bisa ditahan lagi air mataku tumpah. Tepatnya, diawali dengan buliran yang tak dapat kutahan. Kenapa?
Lelaki itu yang ternyata bernama Alex memiliki kendala berbicara, sering juga disebut gagu. Ya Rabb, di tengah keterbatasan itu ia masih menjadi kondektur bus kota. Ya Allah, terima kasih untuk kesempurnaan yang Kau beri pada kami. Tapi, sampai sekarang aku tak mengerti makna tangisku. Sambil membuatkan teh, kucoba menghentikan tangis. Alhamdulillah berhasil, sambil sesekali mendengar gumaman suara yang muncul dari sang tamu. Bukan, ia bukan menggumam, tapi baginya, ia berbicara.
Akhirnya Bapak memintaku memasakkan juga mi instan untuk tamu itu. Ya, rasanya tak mungkin aku mengelak, karena akupun ingin menjamunya, seorang yang istimewa. seorang yang sengaja dikirim Allah untuk bahan renungan kami, kemungkinan besar. Kusiapkan dan keduanya pun makan, meski sang tamu sempat mengelak dengan alasan sudah makan. Ya, saat itu aku tak menampakkan tangis lagi.
C'mon, May nggak boleh cengeng, dia itu kuat meski terbatas. Begitu batinku menguatkan. Tapi sungguh, sekuat papun usahaku mengakses ingatan akan lelaki seniorku ini, tak kuingat satupun kenangan akan dirinya. Hanya satu yakinku: Allah sengaja mengirimnya untukku, untuk keluarga kami sebagai bahan renungan.
Terima kasih, Alex. Oh, mungkin lebih tepat kupanggil Kak Alex? Terima kasih sudah membantu kami menyadari kenikmatan yang kami miliki, mengajak kami merenungi kekurangbersyukuran kami, dan mengingatkan kami tentang Tuhan kami. Terima kasih ^_^
Terima kasih Ya Rabb, Pemilikku. Begitu hebat caraMu mengingatkan kami atas nikmatMu ^_^
Rabu, 23 November 2011
Inilah Cinta Kita
Ada fenomena yang sedang saya lihat di depan mata, sebuah fenomena yang sebenarnya kisah lama, pemikirannya lama, tapi orang-orangnya saja yang baru. Yep, itu adalah pernikahan beda harakah. Dan saya mengalaminya, dengan awal, tengah, dan akhir yang (insya Allah) bahagia dalam ridhoNya ^_^
Oke, saya dulu gerah, marah, bila ada yang protes atau mempertanyakan (ingat, ya, beda dengan menanyakan) kenapa bisa saya mau dinikahi lelaki beda harakah? jawaban saya enteng saja, tidak berubah sampai sekarang: Allah yang mempertemukan. Naif? Atau...menganggap enteng? Ah, nggak juga.
Oke, oke, sebelumnya, kita bahas apa itu harakah. harakah itu bahasa arab yang artinya gerak/pergerakan, dan di Indonesia contoh harakah itu: tarbiyah (PKS), HTI (hizbut tahrir Indonesia), Jamaah Tabligh, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dll. Pergerakan-pergerakan ini punya pemikiran sendiri terkait menjalani kehidupan dalam bingkai Islam. Alhamdulillah masih sesuai dengan AlQuran dan Sunnah. jadi, harakah-harakah ini aman-aman aja untuk diikuti, dan mestinya bisa sinergis menyebarkan Islam di Indonesia. Insya Alalh, amiin.
Terus, kenapa ada keharusan nikah seharakah? Ah, sebenarnya nggak harus kok. cuma, namanya udah ikut organisasi, ada yang merasa loyal dan pengennya nikah yang seharakah sebagai salah satu loyalitasnya ke harakah itu. Wajar? Hmm, menurut May itu selera, ya. Wajar nggak wajar juga. No comment pokoknya (Lho, barusan ngapain? :D)
Dulu May juga pengen nikah seharakah, khususnya waktu May lagi terjun ke politik kampus. Beuh, bebannya nggak enteng mengingat May akhwat sendiri di tengah-tengah pemimpin ikhwan. Saat itu May berharap ada lelaki yang sepergerakan sama May biar ada yang ngasih contoh ke May secara intens tentang politik ini. Ya, May masih berpikir nikah adalah salah satu cara May mendalami ilmu yang May pelajari. *Dan itu masih berlaku sampai sekarang dalam konteks yang berbeda.
Akhirnya ikhwan (lelaki dalam istilah arab) itu datang, memberi update tentang kebijakan-kebijakan harakah kami, menyemangati May, dan akhirnya, he did nothing for me. Yepyep, dia cuma bicara, bicara, dan bicara. May berpikir, kok kayaknya May nggak bisa ya hidup sama orang yang cuma bicara? May sendirian lagi. Eh, nggak ding, namanya harakah ada jamaah (kelompok), jadi May sama teman-teman deh.
Seiring waktu, May melihat fungsi politik ke ranah sosial makin jarang disentuh teman-teman. Hmm, May mundur. Kalau dulu May bergabung untuk jalan May terjun di ranah sosial, kini May harus pergi untuk tetap di ranah sosial. Tapi May masih ada dalam harakah itu untungnya, jadi tetap ada yang ngingetin terkait Islam.
Suatu hari, laki-laki yang nggak asing datang di kehidupan May, tanpa May tahu latar belakang harakahnya apa. Saat itu may sudah nggak ambil pusing soal harakah karena memang sejak awal May menghormati semua harakah yang memegang Al-Quran dan As-Sunnah sebagai pedoman organisasinya. Proses syar'i kami jalani, dan kami menikah. Sebelum nikah kami juga tahu harakah masing-masing, namun kami tak mempermasalahkannya.
Jelang Nikah
Jelang nikah, ada sebagian teman-teman perempuan tarbiyah yang grusak-grusuk karena ketika mereka tanya calon suami May DPRa mana, may malah jawab beliau ikhwan HTI. Bertanduklah sebagian, hehe. Sedih? pasti. Sedih karena teman-teman masih mempermasalahkan harakahnya, bukan akhlaknya. Tapi May juga ngeh, mungkin itu bukti sayang mereka ke May, khawatir May tersakiti kelak. Tapi May lebih percaya bahwa beliau tahu bagaimana suami dalam keluarga muslim harus bersikap (amiiin)
Pasca Nikah
Tantangan yang baru pun datang. Teman-teman menanyakan bagaimana dukungan suami pada dakwah May. May jawab, mendukung, malah beliau yang mendorong May ikut kegiatan-kegiatan harakah May. Terus mereka kasih saran supaya May ngajak suami masuk ke harakah May. Astaghfirullah, masa iya harus begitu? Buat May, selama masih berpegang Al-Quran dan Sunnah, it's fine.
Dan sekarang, May bisa bilang, proses tiap orang itu berbeda, selama masih di jalanNya, nggak usahlah diperdebatkan dan dijustifikasi dengan pandangan negatif. Apalagi kalau yang komentar itu belum mengalami pernikahan, jangan terlalu sempitlah memandang segala sesuatu. Bila seleranya begitu, ya sudah. Ndak perlu melihat orang lain buruk hanya karena beda pandangan atau selera dengannya.
May jabarkan kondisi keluarga May, ya ;)
suami May HTI, perantara kami Salafy, Bapak mertua May Salafy, Ibu mertua May Muhammadiyah, Kakek May Naqsabandiyah, May Tarbiyah, orangtua May Hanif meski bapak May kerja di syi'ah.
Dan kenapa May pilih nikah beda harakah? May cuma bisa jawab, Allah yang mempertemukan kami ^_^
Senin, 17 Oktober 2011
[memori may-dian] lamaran, hm?
Sore itu seorang tamu laki-laki telah pergi dari rumah kami. Mengakhiri masa berkunjungnya sebagai sarana mengenal Bapak dan Mama serta sepupu yang ada di Jakarta. Usai kepergiannya yang tentunya ke Makassar, Mama bertanya pada May,
"Nduk, kok Dian nggak bilang apa-apa ke Bapak?"
"Lho, bukannya mereka ngobrol?"
"Iya, ngobrol biasa, tapi nggak nembung." oh iya, dalam bahasa jawa, nembunng itu dapat diartikan sebagai istilah pengungkapan pihak laki-laki untuk meminta seorang gadis pada orangtuanya. Biasanya Bapak si gadis.
"Hmm, masa sih, Ma?"
"Iya, jangan-jangan nggak serius lagi," kata Mama. Sedikit kecewa si, tapi udahlah, mungkin belum jodoh."Apa dia ngeliat rumah kita kecil begini, Nduk? terus nggak jadi?"
"Hehe, Mas Dian bukan yang kayak gitu kok Ma orangnya," jawab May. Nggak pakai lama (istilahnya Mas Dian) segera May sms. Ketik, hapus, ketik, hapus, yah menyusun kalimat tanya yang berusaha untuk nggak menyinggung beliau,lah. Menanyakan perihal nembung.
Kalau kata Bapak, nembung itu sama orangtua. Kalau mau, pekan depan Bapak Ibuku ke rumah May, gimana?
Malah ngeri ditantangin begitu. Ternyata adat di daerah Mas Dian, nembung itu ya lamaran. waduh! Beda dengan daerah Mama Bapak yang hanya pernyataan keseriusan laki-laki terhadap gadis di depan orangtua si gadis. Akhirnya May sampaikan hal itu ke Mama.
Sejak itu, komunikasi dengan keluarga Mas Dian mulai intens. Mama dan Ibu khususnya yang lebih sering bertelepon ria.Kalau sedang teleconferrence, May dan Mas Dian lebih sering cuma jadi pendengar, jarang ikut nimbrung karena pemeran utama ya Bapak (diwakili mama), Mama, Ibu, dan Bapak Wates. teleconferrence itu membuahkan hasil waktu lamaran. Dan kami bersiap untuk itu.
Beberapa hari sebelum lamaran, Mas Dian mengabarkan tak bisa hadir. Ada kendala sepertinya T_T. Masa iya lamaran nggak ada laki-lakinya? Akhirnya May bertekad untuk juga tak hadir di acara lamaran yang direncanakan ahad siang itu. Oke, paginya May akan pergi dan rencananya nggak akan pulang sampai sore. Saat itu mengaktifkan mode ngambek ceritanya *wekekekeke.
Hari lamaran pun tiba. Bapak dan Ibu naik kereta dari Wates dan sebelum matahari terbit keduanya sudah datang. Akhirnya Mama dan May membuatkan sedikit jamuan seperti nasi goreng dan teh. Yah, seperti biasa kalau ada tamu. Kemudian selesai membuat teh, May diminta duduk menemani sang tamu kehormatan :D. Bapak, Mama, sepupu, budhe juga duduk di ruang depan.
"Begini, Pak. Mbak May, kami berdua datang kemari untuk menyampaikan niat baik Nurdhianto untuk melamar Mbak May. Apkah Mbak May bersedia atau tidak?"
APA!? Gagal sudah rencana ngaburnya. Lha wong pagi-pagi buta ditembak begini >.< Nggak adiiiil, yang ngerasain shocknya May duanks!!!
Bapak yang ditanya menjawab dengan retorikanya (mantap, Pak. May suka gaya Bapak) untuk minta May yang jawab. Ya udah, sambil shock, karena gagal ngabur, May cuma bisa jawab Insya Allah bersedia. Setelah pembicaraan serius itu, tiba-tiba Mama nyeletuk,
"Maaf, Pak, Bu, Bapak sama Ibu beneran kan, anaknya Nurdhianto yang itu?"
GUBRAKS!!!
"Nduk, kok Dian nggak bilang apa-apa ke Bapak?"
"Lho, bukannya mereka ngobrol?"
"Iya, ngobrol biasa, tapi nggak nembung." oh iya, dalam bahasa jawa, nembunng itu dapat diartikan sebagai istilah pengungkapan pihak laki-laki untuk meminta seorang gadis pada orangtuanya. Biasanya Bapak si gadis.
"Hmm, masa sih, Ma?"
"Iya, jangan-jangan nggak serius lagi," kata Mama. Sedikit kecewa si, tapi udahlah, mungkin belum jodoh."Apa dia ngeliat rumah kita kecil begini, Nduk? terus nggak jadi?"
"Hehe, Mas Dian bukan yang kayak gitu kok Ma orangnya," jawab May. Nggak pakai lama (istilahnya Mas Dian) segera May sms. Ketik, hapus, ketik, hapus, yah menyusun kalimat tanya yang berusaha untuk nggak menyinggung beliau,lah. Menanyakan perihal nembung.
Kalau kata Bapak, nembung itu sama orangtua. Kalau mau, pekan depan Bapak Ibuku ke rumah May, gimana?
Malah ngeri ditantangin begitu. Ternyata adat di daerah Mas Dian, nembung itu ya lamaran. waduh! Beda dengan daerah Mama Bapak yang hanya pernyataan keseriusan laki-laki terhadap gadis di depan orangtua si gadis. Akhirnya May sampaikan hal itu ke Mama.
Sejak itu, komunikasi dengan keluarga Mas Dian mulai intens. Mama dan Ibu khususnya yang lebih sering bertelepon ria.Kalau sedang teleconferrence, May dan Mas Dian lebih sering cuma jadi pendengar, jarang ikut nimbrung karena pemeran utama ya Bapak (diwakili mama), Mama, Ibu, dan Bapak Wates. teleconferrence itu membuahkan hasil waktu lamaran. Dan kami bersiap untuk itu.
Beberapa hari sebelum lamaran, Mas Dian mengabarkan tak bisa hadir. Ada kendala sepertinya T_T. Masa iya lamaran nggak ada laki-lakinya? Akhirnya May bertekad untuk juga tak hadir di acara lamaran yang direncanakan ahad siang itu. Oke, paginya May akan pergi dan rencananya nggak akan pulang sampai sore. Saat itu mengaktifkan mode ngambek ceritanya *wekekekeke.
Hari lamaran pun tiba. Bapak dan Ibu naik kereta dari Wates dan sebelum matahari terbit keduanya sudah datang. Akhirnya Mama dan May membuatkan sedikit jamuan seperti nasi goreng dan teh. Yah, seperti biasa kalau ada tamu. Kemudian selesai membuat teh, May diminta duduk menemani sang tamu kehormatan :D. Bapak, Mama, sepupu, budhe juga duduk di ruang depan.
"Begini, Pak. Mbak May, kami berdua datang kemari untuk menyampaikan niat baik Nurdhianto untuk melamar Mbak May. Apkah Mbak May bersedia atau tidak?"
APA!? Gagal sudah rencana ngaburnya. Lha wong pagi-pagi buta ditembak begini >.< Nggak adiiiil, yang ngerasain shocknya May duanks!!!
Bapak yang ditanya menjawab dengan retorikanya (mantap, Pak. May suka gaya Bapak) untuk minta May yang jawab. Ya udah, sambil shock, karena gagal ngabur, May cuma bisa jawab Insya Allah bersedia. Setelah pembicaraan serius itu, tiba-tiba Mama nyeletuk,
"Maaf, Pak, Bu, Bapak sama Ibu beneran kan, anaknya Nurdhianto yang itu?"
GUBRAKS!!!
Sabtu, 15 Oktober 2011
Belahan Jiwa-seismic
Tadi di bangku kuliah, dosen agama Islam ngasih tugas kelompok membuat makalah. Dan teman-teman sekelompok dengan semangat berkata, "Kita ambil tema pernikahan yuk!!" :wataw:. Dikiranya gampang apa, ya, bahas tema satu itu? Andai mereka tahu, betapa sulitnya menjalani. Apalagi menjelaskan?
Antara senang dan sedih saya mengiyakan saja. Pasrah deh sama kemauan 75% anggota kelompok. Di tengah perjalanan pulang, mendadak sebaris lagu tentang nikah bermain di ingatan. Lagu yang sering saya dengar dlu saat masih SMA. Kemudian sampai rumah saya cari lirik lengkapnya dengan keyword sekilas kata yang saya ingat itu. Dan akhirnya berikut lirik lengkap lagu tersebut, sebuah harapan seseorang terhadap pasangan sahnya.
Dan ketika saya kirim sebaris kata ingatan saya, yang tak persis sama dengan aslinya, pada suami. Apa balasan sms beliau?
"ntar sore ke dokter, ya,"
"kenapa?"
"lha itu, tumben *shock*"
"-___-!!"
Antara senang dan sedih saya mengiyakan saja. Pasrah deh sama kemauan 75% anggota kelompok. Di tengah perjalanan pulang, mendadak sebaris lagu tentang nikah bermain di ingatan. Lagu yang sering saya dengar dlu saat masih SMA. Kemudian sampai rumah saya cari lirik lengkapnya dengan keyword sekilas kata yang saya ingat itu. Dan akhirnya berikut lirik lengkap lagu tersebut, sebuah harapan seseorang terhadap pasangan sahnya.
Belahan jiwa
Engkau mentari pelita hati ini
Tersenyumlah bahagiakanku
Dengan tulusmu dengan cintamu
Belahan jiwa ingatkanlahku
Jika terlupa dalam menuju
Tersenyumlah bahagiakanku
Dengan beningmu dengan kasihmu
Engkau kurindu sepanjang waktu
Teguhlah memandu aku
Kudoakan engkau selalu
Di kala malam tengah menjelang
Menjadilah setegar karang
Sesejuk pagi seindah rembulan
Sejernih hati sebening embun
Sepeka nurani seperkasa mentari pagi
Tuhan teduhilah belahan jiwaku
Berikan cahya-Mu dekap teguh dijalan-Mu
Tuhan teduhilah kami di jalan-Mu
Berikan cahya-Mu dekap teguh dijalan-Mu
Dan ketika saya kirim sebaris kata ingatan saya, yang tak persis sama dengan aslinya, pada suami. Apa balasan sms beliau?
"ntar sore ke dokter, ya,"
"kenapa?"
"lha itu, tumben *shock*"
"-___-!!"
Kamis, 13 Oktober 2011
Aku ta'aruf karena ikutan tren
masih membahas tentang ta'aruf. ah sudahlah, jangan tanya lagi artinya. terlalu banyak tulisan May tentang arti ta'aruf. May yakin penikmat internet juga orang yang melek informasi. Di internet sudah banyak bahasan tentang istilah ta'aruf. So, May mau ngapain? Tentu seperti biasa, membahas dari kacamata yang nggak biasa.
Siang itu, seorang perempuan berkerudung marun, gamis marun, duduk di halte bus. Tak lama saya lewati, ada seorang pria mendekatinya, mereka duduk agak berjarak. Hei, lihat. Jenggotnya rapi. Dia termasuk yang katanya tarbiyah atau malah anak band ya? Eh, tapi celananya dilipet, mirip teman-teman kampus yang suka jadi aktivis kajian Islam. Segera saya hampiri perempuan tersebut.
"Jauhan aja duduknya, mesra dikit atuh,"
"kami sedang ta'aruf mbak"
"ta'aruf? kirain suami istri"
"Iya. Kami nggak bersentuhan, kami nggak mengucapkan kata-kata mesra kalau bertemu,"
"Oh, gitu. Wah, saya ketinggalan zaman, dong,"
"Maksud mbak?"
"Waktu saya dan suami ta'aruf, kami meski punya HP nggak teleponan, sms seperlunya kalau tanya progress persiapan nikah. Telepon juga beliau ke orangtua saya, bukan bicara sama saya. Kami juga nggak jalan berdua, bertemu 2 - 3 kali. Dan saat khitbah pun beliau nggak datang karena tugas,"
"Hmm, kapan itu?"
"Kami baru menikah beberapa waktu lalu,"
"Oh.."
"ehem!" ujar sang lelaki. Saya beringsut meninggalkan mereka. Kemudian saya hubungi teman kampus saya yang up to date kondisi perpacaran, hehe. secara dia berpacaran.
"Hola, eh, May. Apaan? Gangguin ta'arufan gue aja,"
"Eh? Ta'aruf?"
"Yo'a. Gue kan nggak mau ketinggalan, sekarang lagi tren ta'aruf tauuk. Eh, ajarin gue dong ta'aruf kan elo udah nikah,"
Hampir saja saya pingsan
==================================
Cukup sudah khayalan May. Hehe, tadi itu cuma khayalan temans, sekadar karya yang terinspirasi dari kejadian yang May alami. Yeah, cukup jelas sekarang, akibat film-film yang katanya religi, jadilah pacaran dibungkus dengan kata ta'aruf. Entah harus senang atau sedih. Tapi May sangat sedih ketika menyadari efek itu tidak hanya menjangkiti teman-teman kesayangan yang memang belum paham agama. Teman-teman yang katanya rutin mengkaji Islampun tak luput dari 'tren' itu. Dan May tak bisa sepenuhnya menyalahkan ketika ta'aruf-ers itu beraksi. Mereka hanya sedang berbunga-bunga saja, dan itu sepintasan.
Mereka ta'aruf, tapi tak berbeda dengan yang berpacaran: smsan mesra, jalan berdua, bahkan mencari alasan untuk bisa berduaan. Sangat berbeda dengan konsep ta'aruf yang May yakini :)
Thanks, mas, sudah benar-benar mencintai May. Dengan tak cemburu sebelum akad *katanya*, tak mengucap kata-kata mesra, tak mengajak May untuk 'pacaran', sebelum akad. May yakin kok, rasa itu pasti ada di benak siapapun yang belum dan akan menikah: sebuah rasa suka terhadap calon pasangannya, insya Allah. Tapi, May lebih yakin bahwa pecinta sejati akan menjaga yang dicintanya dari kesia-siaan atau jurang ketidakbaikan ^.^.
Jadi, intinya, kalau mau pacaran, ya pacaran aja. Kalau mau ta'aruf, ya ta'aruf aja, jangan pacaran dibungkus ta'aruf. Oke? May nggak melarang yang mau pacaran, karena May yakin setiap orang mengerti konsekuensi pilihannya.
Sabtu, 08 Oktober 2011
[tulisan ringan] Mau Meningkatkan Kualitas Hidup? Menikahlah
Pagiiiii, assalamu'alaikum, ohayou ^.^
judul di atas may dapet waktu may lagi main di sumur tadi pagi. Hehehe, biasa, nyegat keponakan supaya nggak main air. secara dia pilek gitu.. T_T
Kenapa bisa pernikahan bikin kualitas hidup meningkat? apa bisa? gimana caranya? dan.. kenapa juga judul itu muncul di kepala may? hehehe, yang terakhir jangan dicari jawabannya deh. kita coba ulas dengan pemikiran may yuk, tapi teteup, belum final, karena masih menerima masukan dari teman-teman di komentar sebagai lahan diskusi kita.
apa bisa pernikahan meningkatkan kualitas hidup?
yup. may sudah buktikan sendiri kok. Sepengalaman may yang masa jomblonya diisi dengan ketidakberdayaan (halagh) pas nikah mulai berusaha bangkit dari ketidakberdayaan itu. Masa? Contohnya?
may orang yang benar-benar nggak bisa masak (pagi ini aja udah bikin ayam ungkep remuk nggak berbentuk), jauh-jauh deh dengan yang namanya dapur. Tapi setelah nikah, mas kalau cuti minta dimasakin sesuatu (meski baru sekali, hehe) dan may nyari-nyari resep masakan yang mas minta. Hasilnya? nggak buruk ternyata (meski nggak asin :wataw: ). Sejak itu, may nyoba masak-masak yang sederhana, bantu-bantu mama di dapur, meski sering bikin insiden: pisau patah, ulekan patah, mangkok ketimpa ulekan. Sekarang may udah siap ditantang masak apapun untuk mas meski harus nyari resepnya dulu, hehehe. Tuh, kan, meningkat kualitasnya *bangga beud deh begitu duank
may bukan orang yang berani dagang. Dan menjelang nikah, may mulai dagang e-ticket pesawat. DIlanjut setelah nikah, dagang buku. Padahal, may dulu orang yang masih bergantung sama gaji di tempat ngajar. setelah resign, masa iya mau diem aja? gimana cara cari uang? maka berdaganglah yang jadi pilihan, mengingat mas juga orang yang lebih suka berdagang (meski belum ada kesempatan). satu contoh lagi, kan? *masa sih ini contoh?
sebelum nikah, may adalah orang yang suka begadang. males tidur, males minum, males makan. Tapi setelah nikah, karena dicerewetin mas terus, dan udah nyadar bahwa badan may nggak akan sehat kalau terus begadang, maka pola tidur may teratur kayak waktu SD lagi :D (eh? apa waktu SMP ya? lupa)
bagaimana bisa menikah meningkatkan kualitas hidup?
coba aja tinggal serumah sama suami/istri masing-masing *JEGERR!! mau tinggal sama siapa lagi maaaayyy!!??*. yakin deh, pengennya bangun pagi biar bisa nyiapin keperluan suami untuk berangkat kerja. atau yang suami, bangun pagi biar bisa jadi imam sholat subuh di rumah sama istri *ehm*. atau bisa jadi pengen waktu bangun lihat yang bening-bening di rumahnya *air kalee*. Berat? Nggak, semua dilakukan biasanya penuh semangat. Otomatis jadi lebih sehat badannya, olahraga bareng, ke pasar bareng.
---------BLANK---------
mendadak ide may untuk nulis hilang, malah yang muncul tentang kuantitas hidup aka penghematan setelah nikah. daripada out of topic, mending disudahi dulu ya tulisan ini. Oh iya, may nggak terlalu serius kok membahasnya, yang nggak sepakat monggo, yang sepakat, silakan. yang ada pandangan lain, yuk didrop di sini, may kan juga pengen belajar ^.^
judul di atas may dapet waktu may lagi main di sumur tadi pagi. Hehehe, biasa, nyegat keponakan supaya nggak main air. secara dia pilek gitu.. T_T
Kenapa bisa pernikahan bikin kualitas hidup meningkat? apa bisa? gimana caranya? dan.. kenapa juga judul itu muncul di kepala may? hehehe, yang terakhir jangan dicari jawabannya deh. kita coba ulas dengan pemikiran may yuk, tapi teteup, belum final, karena masih menerima masukan dari teman-teman di komentar sebagai lahan diskusi kita.
apa bisa pernikahan meningkatkan kualitas hidup?
yup. may sudah buktikan sendiri kok. Sepengalaman may yang masa jomblonya diisi dengan ketidakberdayaan (halagh) pas nikah mulai berusaha bangkit dari ketidakberdayaan itu. Masa? Contohnya?
may orang yang benar-benar nggak bisa masak (pagi ini aja udah bikin ayam ungkep remuk nggak berbentuk), jauh-jauh deh dengan yang namanya dapur. Tapi setelah nikah, mas kalau cuti minta dimasakin sesuatu (meski baru sekali, hehe) dan may nyari-nyari resep masakan yang mas minta. Hasilnya? nggak buruk ternyata (meski nggak asin :wataw: ). Sejak itu, may nyoba masak-masak yang sederhana, bantu-bantu mama di dapur, meski sering bikin insiden: pisau patah, ulekan patah, mangkok ketimpa ulekan. Sekarang may udah siap ditantang masak apapun untuk mas meski harus nyari resepnya dulu, hehehe. Tuh, kan, meningkat kualitasnya *bangga beud deh begitu duank
may bukan orang yang berani dagang. Dan menjelang nikah, may mulai dagang e-ticket pesawat. DIlanjut setelah nikah, dagang buku. Padahal, may dulu orang yang masih bergantung sama gaji di tempat ngajar. setelah resign, masa iya mau diem aja? gimana cara cari uang? maka berdaganglah yang jadi pilihan, mengingat mas juga orang yang lebih suka berdagang (meski belum ada kesempatan). satu contoh lagi, kan? *masa sih ini contoh?
sebelum nikah, may adalah orang yang suka begadang. males tidur, males minum, males makan. Tapi setelah nikah, karena dicerewetin mas terus, dan udah nyadar bahwa badan may nggak akan sehat kalau terus begadang, maka pola tidur may teratur kayak waktu SD lagi :D (eh? apa waktu SMP ya? lupa)
bagaimana bisa menikah meningkatkan kualitas hidup?
coba aja tinggal serumah sama suami/istri masing-masing *JEGERR!! mau tinggal sama siapa lagi maaaayyy!!??*. yakin deh, pengennya bangun pagi biar bisa nyiapin keperluan suami untuk berangkat kerja. atau yang suami, bangun pagi biar bisa jadi imam sholat subuh di rumah sama istri *ehm*. atau bisa jadi pengen waktu bangun lihat yang bening-bening di rumahnya *air kalee*. Berat? Nggak, semua dilakukan biasanya penuh semangat. Otomatis jadi lebih sehat badannya, olahraga bareng, ke pasar bareng.
---------BLANK---------
mendadak ide may untuk nulis hilang, malah yang muncul tentang kuantitas hidup aka penghematan setelah nikah. daripada out of topic, mending disudahi dulu ya tulisan ini. Oh iya, may nggak terlalu serius kok membahasnya, yang nggak sepakat monggo, yang sepakat, silakan. yang ada pandangan lain, yuk didrop di sini, may kan juga pengen belajar ^.^
Rabu, 21 September 2011
Bapak dan Mama
Didorong-dorong seorang teman untuk menorehkan sesuatu terkait mama dan bapak, kedua orangtua saya. Dua orang yang menurunkan bakat kritis, organisatoris, ramah, dan welas asih mereka (meski sedikit) pada saya. Eh, kok jadi narsis gini? Nggak apa-apa deh. Bukan narsis, hanya mensugesti hal baik pada diri sendiri :D
Bapak adalah lelaki berumur 54 tahun saat ini, meski di KTP kelahiran Juli 1959. Bapak pernah bilang, kalau tidak salah di KTP itu umurnya lebih muda 2 tahun. Sampai sekarang, secara hukum negara usia Bapak memang 57 tahun. Tak apalah, lelaki paruh abad tetap Bapak saya berapapun usianya. Sering saya menangis bila menatapi lekuk-lekuk keriput di wajahnya. Ya Allah, saya belum memberi apapun untuk Bapak. Padahal Bapak tak pernah perhitungan untuk anak tunggalnya ini. Saya baru bisa memberikan doa dan beberapa hadiah kecil serta masakan bekal beliau. Saya baru bisa mengurusi rumah beliau saja. Saya belum berbuat apapun layaknya beliau berbuat untuk saya, anaknya.
Masih saya ingat ketika saya TK, Bapak di sela pekerjaannya sebagai satpam masih mengantar saya ke sekolah dengan sepeda ontel. Meski tidak setiap hari, tapi itu sangat saya sukai. Ketika anak lain dijaga, ditunggui di TK oleh ibu masing-masing atau 'bibi', saya hanya bisa mencium tangan Bapak sambil mendengar sedikit pesan beliau seperti "belajar yang bener". Ya, meski saya anak tunggal, saya bukanlah anak yang keinginannnya selalu dimanja seperti kebanyakan anak tunggal lainnya. Ketika teman TK saya mulai mengenal jajanan, Mama dan Bapak tak henti-hentinya menegaskan tentang perlunya berhemat dan sehatnya bekal. Ya, keduanya bukanlah lulusan S1, malah Bapak bukan siswa yang lulus SD. Tapi wawasan keduanya begitu tepat untuk mendidik saya.
Saat SD adalah masa yang begitu manis untuk saya. Sebelum bel masuk, biasanya Bapak kalau mengantar selalu membaca koran. Beliau akan pergi dari sekolah setelah yakin putrinya duduk di kursi kelas. Dan saya yang masih malu-malu karena masih kelas 1 SD, ikut membaca koran. Meski terbata dan bersuara lantang, Bapak tidak berkeberatan berbagi kursi di ruang tunggu. Sesekali Bapak mencoba membimbing saya membaca bila ada kata yang sulit. Ya, Bapak menularkan hobi bacanya pada saya hingga saat TK saya sudah bisa membaca, dan kelas 1 SD bacaan saya lumayan 'berat' bagi anak seusia saya, sebuah koran yang memang bahasa dan isinya tidak kacangan.
Bapak mulai tidak menunggu saya masuk kelas saat saya menginjak kelas 3 SD. Beliau mulai percaya saya ada di kelas dan hanya mengantar sampai pintu gerbang sekolah. Perlahan agak jauh, dan Bapak benar-benar tidak mengantar lagi sejak saya kelas 6 SD. Kata Bapak yang sejak saya kelas 3 SD menjadi supir, Bapak sibuk. Ya, tak apa. Saya sangat ingat saat tahun 1994-1999. Ketika teman-teman diberi uang jajan hingga Rp 2.500, saya hanya Rp 100. Kalau kurs sekarang, saya hanya jajan Rp 1.000. Hehe, sampai sekarang, saya jadi jarang jajan. Kalaupun pergi, jajan hanya ketika benar-benar lapar dan memang tidak membawa bekal. "Penghasilan' saya meningkat jadi Rp 500 saat kelas 6 SD karena saya harus pulang lebih siang untuk persiapan ujian. SMP, wah, masih Rp 500, naik menjadi Rp 1000 waktu banyak pendalaman materi. Irit atau pelit? Entah. Saya hanya tahu bahwa orangtua saya bukan orang berlebih materi saat itu, jadi saya terima bila diberi dan tidak meminta bila tak punya ^.^ *semoga seterusnya pun begitu pada suami dan anak kelak.
Bapak memiliki kemampuan yang menurun pada saya. Bapak suka bercerita, sangat suka. Utamanya kisah wayang dan ketoprak. Yap, dulu Bapak adalah anggota Karang Taruna dan ikut dalam grup ketoprak, wayang orang, gendhing. Kesenian Jogja yang sangat Bapak banggakan. Dan kesukaannya bercerita menurun pada saya. Tiap kali Bapak dapat tugas dari bos, saya diajak naik mobil beliau. Hampir selalu saya diminta bercerita kisah para Nabi atau buku apapun yang sudah saya baca. Saya maklumi sekarang, Bapak belum sempat mendalami Islam di masa mudanya seperti saya, dan beliau memiliki prinsip sendiri dalam menjalani Islam. Meski tak begitu paham hadist, ayat-ayat, tapi beliau malah lebih mampu menjalani yang Rasulullah Muhammad saw ajarkan dibanding saya dan mama yang tentunya berkesempatan mendalami Islam lebih banyak. Ya Allah, sayangi dan lindungi beliau dalam Kasih SayangMu ^.^
Saya sangat merasakan kasih sayang beliau sejak dulu, terutama saat akan menikah. Ya, itu hal terbesar dalam hidup saya karena saya akan berpindah penanggung jawab. Berkali-kali saya berproses, Bapak belum menunjukkan persetujuan ataupun penolakan. Tapi kedua dari terakhir Bapak begitu pandai menunjukkan ketidaksetujuannya. Sikap beliau yang berwibawa, membuat saya segan untuk menanyakan langsung. Sehingga begitu banyak permulaan (basa-basi) untuk sampai ke poinnya. Ketika jelang pernikahan pun, saya semakin mendekat pada Bapak, meski nantinya sementara saya akan tinggal dengan Bapak dan Mama. Tapi pasti rasanya beda.
Dan benar, Bapak dengan sikap kalem, pendiamnya, mampu membuat saya semakin hormat pada beliau. Tak mampu sedikitpun saya mengelak perintahnya sejak dulu hingga sekarang. Bapak yang penuh hormat pada orang lain, welas asih pada tetangga, suka berorganisasi, dan bersahaja itu telah *eh baru diomongin orangnya mampir ke rumah, pulang sebentar di tengah tugas. sssttt, jangan bilang-bilang Bapak, ya...* memberikan saya banyak ilmu untuk hidup bermasyarakat dan mendidik anak kelak.
Bapak itu perfeksionis lho. Meski saya sudah mengepel lantai, kalau dirasa belum bersih maka tak segan beliau akan menyuruh saya mengepel ulang atau mengepel sendiri yang sering saya rengek supaya saya yang melanjutkan. Kebersihan itu nomor satu untuk Bapak. Jadilah saya terbiasa membereskan rumah sejak SMP *TK-SD ada saudara mama yang mengasuh saya*. Untung juga punya rumah kecil, nggak begitu lelah kalau berbenah. Saya membayangkan rumah besar orang-orang kaya itu, apa jadinya kalau saya membereskan rumah sebesar itu sendirian?
Sejak tadi saya bicarakan Bapak. Mama sendiri? Ohoho, beliau punya tempat tersendiri di hati saya. Mama termasuk perempuan feminis lho, hehe. Tapi beliau kuat sebagai istri dan ibu rumah tangga meski juga bekerja hingga usianya 40-an ini. Dulu, mama mengandung saya sampai 9 bulan. Terdengar biasa, ya? Tapi, kalau saya tulis: mama mengandung saya selama 9 bulan dan bekerja nyaris 24 jam sehari sebagai pembantu rumah tangga saat hamil. Masih terdengar biasa, tidak? Oh, biasa, ya? Mungkin bagi pembaca hal itu biasa. Tapi kalau saya melihat sebagian kondisi teman-teman dan family saya yang hamil harus di rumah tanpa kegiatan berat, mama adalah perempuan kuat bagi saya. Sering saya bertanya, apa sih rahasianya mama bisa membawa saya dengan resiko keguguran tapi tetap bekerja di usia 19 tahunnya?
"Semangat. Kamu yang semangati mama, nduk"
Itukah kekuatan perempuan? Entah. Tapi saya sering tercekat kalau serius mendengar cerita-cerita mereka berdua. Saat saya belum 3 tahun, mama menitipkan saya pada Mbah Kakung. Dan di Jakarta, mama sering tidak tidur mengerjakan konveksi, memasang label ukuran baju tentara yang selalu bertumpuk tiap hari. Tidak mendapat jatah sahur dari bosnya. Ya Allah, kumohon lagi, lindungi dan sayangi Mama dan Bapak. Mama mengontrak rumah yang bahkan selonjor saja susah. Kata mama, tidur pakai tikar karena lantainya tanah. Kalau tidur, kaki mama dan Bapak keluar rumah kontrakan saking sempitnya. Ternyata istilah RSSSSSSS itu bukan lelucon, ya?
Kehidupan mulai membaik saat Bapak jadi satpam. Mama membawa saya ke Jakarta dan kami mengontrak 1 kamar 2 x 3 m2. Mama hampir selalu kesulitan tapi akhirnya berhasil menahan saya yang merengek ini itu. Maklum, anak usia 4-5 tahun masih suka mainan yang lewat, kan?
Mama mendandani saya dengan celana (bukan rok. Saya hanya pakai rok saat saya ulang tahun). Meski saya akhirnya tidak jadi 'jajan', tapi mama hampir selalu membelikan saya mobil-mobilan beberapa pekan sekali. Saya pun harus puas dengan mainan kecil saya dan beberapa buku yang saya baca.
Sejak kecil saya seolah dididik untuk tidak punya banyak keinginan seperti anak lain. I mean, jiwa konsumtif. Mama yang paling sering menekankan tentang keuangan keluarga pada saya sejak kecil. Yap, mama tidak mengajarkan saya konsumtif, tapi mama juga tidak merelakan saya jadi kuper. Sejak kecil beliau mengenalkan saya dengan berbagai jenis makanan 'orang kaya'. Berbagai istilah 'modern', juga berbagai tempat meski saya belum kunjungi. Sepertinya Bapak dan mama beruntung di tengah kesulitannya. Memiliki bos yang katanya galak tapi juga ternyata bos itu yang membuat mama kenal dunia kalangan atas tanpa harus menghamburkan banyak uang sehingga menjadi kalangan atas. Begitupun Bapak, jadi berwawasan luas karena sering diberi tugas yang tak sesuai jobdesc beliau. Bapak dan Mama memang tak dapat dipisahkan kalau dalam sebuah penceritaan.
Mama bukanlah seorang ibu yang mendampingi anaknya saat mendaftar ke sekolah yang baru sehingga saya mendaftar sekolah sendirian sejak SMA. Saat SMP Bapak yang mendaftarkan, itupun hanya di hari pengambilan formulir. Sisanya saya lakukan sendiri. Mama bukanlah ibu yang selalu mengambilkan rapor dulu. Tapi, itu semua karena kesibukan beliau. Mama adalah seorang ibu penuh harapan terhadap anak satu-satunya ini. Berpikir positif selalu diajarkan mama bila saya curhat. Mama bukanlah ibu-ibu pengajian yang pandai membaca rawi, tapi beliau bukan pula seorang pembenci Islam. Mama bukan ibu-ibu arisan yang berkumpul, tapi beliau penggerak kegiatan positif di lingkungan. Dan mama adalah perantara saya dengan Bapak untuk masalah-masalah besar. Utamanya pernikahan saya. Mama yang ekspresif, menunjukkan kesukaan maupun ketidaksukaannya dengan gamblang.
Mama yang supel, hampir selalu mengenal teman saya. Heran, tapi senang rasanya ketika menyadari bahwa Mama bisa 'nyambung' dengan sebagian besar teman saya, bahkan beberapa di antaranya sering curhat ke Mama. Iya, deh, berbagi mama. Mama bukan orangtua yang meninggalkan anaknya dengan tamu. Hampir pasti Mama akan menemani anak dan tamunya. Bukan karena tak percaya tapi lebih karena Mama ingin mengenal teman anaknya. Mama sering bilang, Mama suka kalau teman saya ke rumah dan bisa ngobrol dengan mereka. Mama malah menganggap beberapa teman seperti anaknya sendiri.
"Pokoknya Mama mau bikin ruang khusus di depan rumah nanti buat nginep teman-temanmu yang jauh-jauh itu." Hehehe, Mama selalu saja begitu. Malah, dulu Mama selalu membawakan bekal untuk seorang teman kampus dan menitip salam.
Sampai sekarang, saya hanya melakukan sedikit hal yang membahagiakan mama, belum ammpu membalas kebaikan beliau. Tapi, semangat mama, kekuatannya, sikapnya mendidik anak terutama dalam etika serta keuangan, akan saya contoh terus. Mama, teman curhat yang belum ada gantinya. yeah, bagaimanapun mas Dian adalah laki-laki, beda dengan Mama yang perempuan. Jadi, teman curhat seperti Mama belum ada gantinya dunk ^.^
Beruntungnya saya lahir, besar, dan belajar dari kedua orangtua hebat seperti Mama dan Bapak. Thanks a lot, my dear parents. Always loving you, and i love the way you love me ^.^
Ya Allah, Tuhanku Yang Maha Segala, kumohon lindungi dan sayangi kedua orangtuaku, Bapak dan Mama, dengan segala sayangMu
Bapak adalah lelaki berumur 54 tahun saat ini, meski di KTP kelahiran Juli 1959. Bapak pernah bilang, kalau tidak salah di KTP itu umurnya lebih muda 2 tahun. Sampai sekarang, secara hukum negara usia Bapak memang 57 tahun. Tak apalah, lelaki paruh abad tetap Bapak saya berapapun usianya. Sering saya menangis bila menatapi lekuk-lekuk keriput di wajahnya. Ya Allah, saya belum memberi apapun untuk Bapak. Padahal Bapak tak pernah perhitungan untuk anak tunggalnya ini. Saya baru bisa memberikan doa dan beberapa hadiah kecil serta masakan bekal beliau. Saya baru bisa mengurusi rumah beliau saja. Saya belum berbuat apapun layaknya beliau berbuat untuk saya, anaknya.
Masih saya ingat ketika saya TK, Bapak di sela pekerjaannya sebagai satpam masih mengantar saya ke sekolah dengan sepeda ontel. Meski tidak setiap hari, tapi itu sangat saya sukai. Ketika anak lain dijaga, ditunggui di TK oleh ibu masing-masing atau 'bibi', saya hanya bisa mencium tangan Bapak sambil mendengar sedikit pesan beliau seperti "belajar yang bener". Ya, meski saya anak tunggal, saya bukanlah anak yang keinginannnya selalu dimanja seperti kebanyakan anak tunggal lainnya. Ketika teman TK saya mulai mengenal jajanan, Mama dan Bapak tak henti-hentinya menegaskan tentang perlunya berhemat dan sehatnya bekal. Ya, keduanya bukanlah lulusan S1, malah Bapak bukan siswa yang lulus SD. Tapi wawasan keduanya begitu tepat untuk mendidik saya.
Saat SD adalah masa yang begitu manis untuk saya. Sebelum bel masuk, biasanya Bapak kalau mengantar selalu membaca koran. Beliau akan pergi dari sekolah setelah yakin putrinya duduk di kursi kelas. Dan saya yang masih malu-malu karena masih kelas 1 SD, ikut membaca koran. Meski terbata dan bersuara lantang, Bapak tidak berkeberatan berbagi kursi di ruang tunggu. Sesekali Bapak mencoba membimbing saya membaca bila ada kata yang sulit. Ya, Bapak menularkan hobi bacanya pada saya hingga saat TK saya sudah bisa membaca, dan kelas 1 SD bacaan saya lumayan 'berat' bagi anak seusia saya, sebuah koran yang memang bahasa dan isinya tidak kacangan.
Bapak mulai tidak menunggu saya masuk kelas saat saya menginjak kelas 3 SD. Beliau mulai percaya saya ada di kelas dan hanya mengantar sampai pintu gerbang sekolah. Perlahan agak jauh, dan Bapak benar-benar tidak mengantar lagi sejak saya kelas 6 SD. Kata Bapak yang sejak saya kelas 3 SD menjadi supir, Bapak sibuk. Ya, tak apa. Saya sangat ingat saat tahun 1994-1999. Ketika teman-teman diberi uang jajan hingga Rp 2.500, saya hanya Rp 100. Kalau kurs sekarang, saya hanya jajan Rp 1.000. Hehe, sampai sekarang, saya jadi jarang jajan. Kalaupun pergi, jajan hanya ketika benar-benar lapar dan memang tidak membawa bekal. "Penghasilan' saya meningkat jadi Rp 500 saat kelas 6 SD karena saya harus pulang lebih siang untuk persiapan ujian. SMP, wah, masih Rp 500, naik menjadi Rp 1000 waktu banyak pendalaman materi. Irit atau pelit? Entah. Saya hanya tahu bahwa orangtua saya bukan orang berlebih materi saat itu, jadi saya terima bila diberi dan tidak meminta bila tak punya ^.^ *semoga seterusnya pun begitu pada suami dan anak kelak.
Bapak memiliki kemampuan yang menurun pada saya. Bapak suka bercerita, sangat suka. Utamanya kisah wayang dan ketoprak. Yap, dulu Bapak adalah anggota Karang Taruna dan ikut dalam grup ketoprak, wayang orang, gendhing. Kesenian Jogja yang sangat Bapak banggakan. Dan kesukaannya bercerita menurun pada saya. Tiap kali Bapak dapat tugas dari bos, saya diajak naik mobil beliau. Hampir selalu saya diminta bercerita kisah para Nabi atau buku apapun yang sudah saya baca. Saya maklumi sekarang, Bapak belum sempat mendalami Islam di masa mudanya seperti saya, dan beliau memiliki prinsip sendiri dalam menjalani Islam. Meski tak begitu paham hadist, ayat-ayat, tapi beliau malah lebih mampu menjalani yang Rasulullah Muhammad saw ajarkan dibanding saya dan mama yang tentunya berkesempatan mendalami Islam lebih banyak. Ya Allah, sayangi dan lindungi beliau dalam Kasih SayangMu ^.^
Saya sangat merasakan kasih sayang beliau sejak dulu, terutama saat akan menikah. Ya, itu hal terbesar dalam hidup saya karena saya akan berpindah penanggung jawab. Berkali-kali saya berproses, Bapak belum menunjukkan persetujuan ataupun penolakan. Tapi kedua dari terakhir Bapak begitu pandai menunjukkan ketidaksetujuannya. Sikap beliau yang berwibawa, membuat saya segan untuk menanyakan langsung. Sehingga begitu banyak permulaan (basa-basi) untuk sampai ke poinnya. Ketika jelang pernikahan pun, saya semakin mendekat pada Bapak, meski nantinya sementara saya akan tinggal dengan Bapak dan Mama. Tapi pasti rasanya beda.
Dan benar, Bapak dengan sikap kalem, pendiamnya, mampu membuat saya semakin hormat pada beliau. Tak mampu sedikitpun saya mengelak perintahnya sejak dulu hingga sekarang. Bapak yang penuh hormat pada orang lain, welas asih pada tetangga, suka berorganisasi, dan bersahaja itu telah *eh baru diomongin orangnya mampir ke rumah, pulang sebentar di tengah tugas. sssttt, jangan bilang-bilang Bapak, ya...* memberikan saya banyak ilmu untuk hidup bermasyarakat dan mendidik anak kelak.
Bapak itu perfeksionis lho. Meski saya sudah mengepel lantai, kalau dirasa belum bersih maka tak segan beliau akan menyuruh saya mengepel ulang atau mengepel sendiri yang sering saya rengek supaya saya yang melanjutkan. Kebersihan itu nomor satu untuk Bapak. Jadilah saya terbiasa membereskan rumah sejak SMP *TK-SD ada saudara mama yang mengasuh saya*. Untung juga punya rumah kecil, nggak begitu lelah kalau berbenah. Saya membayangkan rumah besar orang-orang kaya itu, apa jadinya kalau saya membereskan rumah sebesar itu sendirian?
Sejak tadi saya bicarakan Bapak. Mama sendiri? Ohoho, beliau punya tempat tersendiri di hati saya. Mama termasuk perempuan feminis lho, hehe. Tapi beliau kuat sebagai istri dan ibu rumah tangga meski juga bekerja hingga usianya 40-an ini. Dulu, mama mengandung saya sampai 9 bulan. Terdengar biasa, ya? Tapi, kalau saya tulis: mama mengandung saya selama 9 bulan dan bekerja nyaris 24 jam sehari sebagai pembantu rumah tangga saat hamil. Masih terdengar biasa, tidak? Oh, biasa, ya? Mungkin bagi pembaca hal itu biasa. Tapi kalau saya melihat sebagian kondisi teman-teman dan family saya yang hamil harus di rumah tanpa kegiatan berat, mama adalah perempuan kuat bagi saya. Sering saya bertanya, apa sih rahasianya mama bisa membawa saya dengan resiko keguguran tapi tetap bekerja di usia 19 tahunnya?
"Semangat. Kamu yang semangati mama, nduk"
Itukah kekuatan perempuan? Entah. Tapi saya sering tercekat kalau serius mendengar cerita-cerita mereka berdua. Saat saya belum 3 tahun, mama menitipkan saya pada Mbah Kakung. Dan di Jakarta, mama sering tidak tidur mengerjakan konveksi, memasang label ukuran baju tentara yang selalu bertumpuk tiap hari. Tidak mendapat jatah sahur dari bosnya. Ya Allah, kumohon lagi, lindungi dan sayangi Mama dan Bapak. Mama mengontrak rumah yang bahkan selonjor saja susah. Kata mama, tidur pakai tikar karena lantainya tanah. Kalau tidur, kaki mama dan Bapak keluar rumah kontrakan saking sempitnya. Ternyata istilah RSSSSSSS itu bukan lelucon, ya?
Kehidupan mulai membaik saat Bapak jadi satpam. Mama membawa saya ke Jakarta dan kami mengontrak 1 kamar 2 x 3 m2. Mama hampir selalu kesulitan tapi akhirnya berhasil menahan saya yang merengek ini itu. Maklum, anak usia 4-5 tahun masih suka mainan yang lewat, kan?
Mama mendandani saya dengan celana (bukan rok. Saya hanya pakai rok saat saya ulang tahun). Meski saya akhirnya tidak jadi 'jajan', tapi mama hampir selalu membelikan saya mobil-mobilan beberapa pekan sekali. Saya pun harus puas dengan mainan kecil saya dan beberapa buku yang saya baca.
Sejak kecil saya seolah dididik untuk tidak punya banyak keinginan seperti anak lain. I mean, jiwa konsumtif. Mama yang paling sering menekankan tentang keuangan keluarga pada saya sejak kecil. Yap, mama tidak mengajarkan saya konsumtif, tapi mama juga tidak merelakan saya jadi kuper. Sejak kecil beliau mengenalkan saya dengan berbagai jenis makanan 'orang kaya'. Berbagai istilah 'modern', juga berbagai tempat meski saya belum kunjungi. Sepertinya Bapak dan mama beruntung di tengah kesulitannya. Memiliki bos yang katanya galak tapi juga ternyata bos itu yang membuat mama kenal dunia kalangan atas tanpa harus menghamburkan banyak uang sehingga menjadi kalangan atas. Begitupun Bapak, jadi berwawasan luas karena sering diberi tugas yang tak sesuai jobdesc beliau. Bapak dan Mama memang tak dapat dipisahkan kalau dalam sebuah penceritaan.
Mama bukanlah seorang ibu yang mendampingi anaknya saat mendaftar ke sekolah yang baru sehingga saya mendaftar sekolah sendirian sejak SMA. Saat SMP Bapak yang mendaftarkan, itupun hanya di hari pengambilan formulir. Sisanya saya lakukan sendiri. Mama bukanlah ibu yang selalu mengambilkan rapor dulu. Tapi, itu semua karena kesibukan beliau. Mama adalah seorang ibu penuh harapan terhadap anak satu-satunya ini. Berpikir positif selalu diajarkan mama bila saya curhat. Mama bukanlah ibu-ibu pengajian yang pandai membaca rawi, tapi beliau bukan pula seorang pembenci Islam. Mama bukan ibu-ibu arisan yang berkumpul, tapi beliau penggerak kegiatan positif di lingkungan. Dan mama adalah perantara saya dengan Bapak untuk masalah-masalah besar. Utamanya pernikahan saya. Mama yang ekspresif, menunjukkan kesukaan maupun ketidaksukaannya dengan gamblang.
Mama yang supel, hampir selalu mengenal teman saya. Heran, tapi senang rasanya ketika menyadari bahwa Mama bisa 'nyambung' dengan sebagian besar teman saya, bahkan beberapa di antaranya sering curhat ke Mama. Iya, deh, berbagi mama. Mama bukan orangtua yang meninggalkan anaknya dengan tamu. Hampir pasti Mama akan menemani anak dan tamunya. Bukan karena tak percaya tapi lebih karena Mama ingin mengenal teman anaknya. Mama sering bilang, Mama suka kalau teman saya ke rumah dan bisa ngobrol dengan mereka. Mama malah menganggap beberapa teman seperti anaknya sendiri.
"Pokoknya Mama mau bikin ruang khusus di depan rumah nanti buat nginep teman-temanmu yang jauh-jauh itu." Hehehe, Mama selalu saja begitu. Malah, dulu Mama selalu membawakan bekal untuk seorang teman kampus dan menitip salam.
Sampai sekarang, saya hanya melakukan sedikit hal yang membahagiakan mama, belum ammpu membalas kebaikan beliau. Tapi, semangat mama, kekuatannya, sikapnya mendidik anak terutama dalam etika serta keuangan, akan saya contoh terus. Mama, teman curhat yang belum ada gantinya. yeah, bagaimanapun mas Dian adalah laki-laki, beda dengan Mama yang perempuan. Jadi, teman curhat seperti Mama belum ada gantinya dunk ^.^
Beruntungnya saya lahir, besar, dan belajar dari kedua orangtua hebat seperti Mama dan Bapak. Thanks a lot, my dear parents. Always loving you, and i love the way you love me ^.^
Ya Allah, Tuhanku Yang Maha Segala, kumohon lindungi dan sayangi kedua orangtuaku, Bapak dan Mama, dengan segala sayangMu
Senin, 19 September 2011
mimpi di tengah sakit yang mendera
judul yang lebay. mungkin kalau bukan saya yang mengalami sendiri. tapi dua hari dua malam lalu saya lalui dengan kondisi sangat tidak mengenakkan: terbaring di tempat tidur. HUH! Lemah sekali saya. Sedikit demi sedikit saya mengingat isi kisah Lord of The Rings, bagaimana Frodo ketika diselubungi jaring Shelob. Dingin, sesak nafas, kepala berat. Nyaris sama seperti yang saya rasakan. Atau seperti Frodo saat ditusuk pedang Nazgul. Sakit karena dinginnya menusuk, nyeri di bahu. Ah, saya hanya merasakan sakitnya saja, tidak mengalaminya. Untung saja.
Sulit tidur itu pasti. Dan saya mengalaminya. Berbagai cara saya lakukan sambil menggulingkan badan saya ke kanan serta kiri. Hingga akhirnya karena kelelahan saya menutup mata. Entah kapan. Dan kembali mimpi ekstrem itu hadir, menambah sesak saya. Sebuah mimpi yang aneh. Terlalu aneh karena tidak berkaitan dengan bacaan saya sebelum tidur. Tapi saya suka, semoga saja mimpi itu menjadi inspirasi saya kelak.
Saat itu saya 'terjatuh' dari langit dan mendapati diri saya hendak pergi. Sebuah koper di tangan kanan saya sementara tangan kiri saya digenggam seseorang. Hmm, agak romantis? Ternyata tidak. Karena kami berlari seolah mengejar atau dikejar sesuatu. Dan Ada yang keluar..menggelinding dari koper milik penggenggam tangan saya. Sebuah benda berwarna biru serupa telur. Kami terus berlari dan scene berganti.
Kami berpakaian layaknya penduduk biasa, casual. Hei, rambut saya pirang! sepertinya. Tak begitu jelas, tapi benda biru tadi saya lihat menimpa sebuah patung...atau seekor hewan? kemudian yang ditimpa seketika ikut membiru dan ada bibir membisikkan sesuatu yang terbentuk dari tumpahan biru itu. Ngeri. Diri saya yang lain sempat menyaksikan 5 'power rangers' muncul dari balik tumpahan itu. Saya berlari hendak mendekati mereka tapi ditarik oleh sesuatu..sang penggenggam? entah. Kemudian dir saya yang lain melihat kelima power ranger itu berbicara hendak menakuti warga sekitar. Penggenggam tangan saya muncul dengan pakaian seperti pendekar rajawali *jiaaaaa* dan melompat di depan power ranger itu. Scene berganti dengan cipratan biru di semua sisi layar mimpi saya.
Si biru semakin tercetak sekarang. Ia membentuk dirinya sebagai boneka biru lucu nan botak. Hei, ini bukan acara Big Brother Indonesia kan? Tentu bukan. Tapi makhluk botak biru itu tertawa seperti tawanya jin aladdin..aladdin? ya, itu jin aladdin! lihatlah sedikit rambut yang muncul di kepalanya. kemudian jin mendekatkan telunjuknya pada saya sambil tertawa. Tentu saya menjauh. Sangat ingin sepertinya ia wujudkan adegan di poster film E.T.
Scene berganti dan bibir berbisik itu muncul lagi. Selesai. Saya terbangun dan sempat terkejut kenapa bisa bacaan saya beberapa bulan lalu malah teringat dalam alam bawah sadar saya sekarang? Entahlah. Mungkin ia melekat di otak saya tanpa saya sadari. Yang pasti rambut saya tidak pirang, diri saya hanya satu, dan saya berpakaian sebiasa saya.
Over all, mimpi hanya bunga tidur yang bisa menjadi sumber inspirasi penulis maupun komikus ^.^
Sulit tidur itu pasti. Dan saya mengalaminya. Berbagai cara saya lakukan sambil menggulingkan badan saya ke kanan serta kiri. Hingga akhirnya karena kelelahan saya menutup mata. Entah kapan. Dan kembali mimpi ekstrem itu hadir, menambah sesak saya. Sebuah mimpi yang aneh. Terlalu aneh karena tidak berkaitan dengan bacaan saya sebelum tidur. Tapi saya suka, semoga saja mimpi itu menjadi inspirasi saya kelak.
Saat itu saya 'terjatuh' dari langit dan mendapati diri saya hendak pergi. Sebuah koper di tangan kanan saya sementara tangan kiri saya digenggam seseorang. Hmm, agak romantis? Ternyata tidak. Karena kami berlari seolah mengejar atau dikejar sesuatu. Dan Ada yang keluar..menggelinding dari koper milik penggenggam tangan saya. Sebuah benda berwarna biru serupa telur. Kami terus berlari dan scene berganti.
Kami berpakaian layaknya penduduk biasa, casual. Hei, rambut saya pirang! sepertinya. Tak begitu jelas, tapi benda biru tadi saya lihat menimpa sebuah patung...atau seekor hewan? kemudian yang ditimpa seketika ikut membiru dan ada bibir membisikkan sesuatu yang terbentuk dari tumpahan biru itu. Ngeri. Diri saya yang lain sempat menyaksikan 5 'power rangers' muncul dari balik tumpahan itu. Saya berlari hendak mendekati mereka tapi ditarik oleh sesuatu..sang penggenggam? entah. Kemudian dir saya yang lain melihat kelima power ranger itu berbicara hendak menakuti warga sekitar. Penggenggam tangan saya muncul dengan pakaian seperti pendekar rajawali *jiaaaaa* dan melompat di depan power ranger itu. Scene berganti dengan cipratan biru di semua sisi layar mimpi saya.
Si biru semakin tercetak sekarang. Ia membentuk dirinya sebagai boneka biru lucu nan botak. Hei, ini bukan acara Big Brother Indonesia kan? Tentu bukan. Tapi makhluk botak biru itu tertawa seperti tawanya jin aladdin..aladdin? ya, itu jin aladdin! lihatlah sedikit rambut yang muncul di kepalanya. kemudian jin mendekatkan telunjuknya pada saya sambil tertawa. Tentu saya menjauh. Sangat ingin sepertinya ia wujudkan adegan di poster film E.T.
Scene berganti dan bibir berbisik itu muncul lagi. Selesai. Saya terbangun dan sempat terkejut kenapa bisa bacaan saya beberapa bulan lalu malah teringat dalam alam bawah sadar saya sekarang? Entahlah. Mungkin ia melekat di otak saya tanpa saya sadari. Yang pasti rambut saya tidak pirang, diri saya hanya satu, dan saya berpakaian sebiasa saya.
Over all, mimpi hanya bunga tidur yang bisa menjadi sumber inspirasi penulis maupun komikus ^.^
Jumat, 19 Agustus 2011
[memori may-dian] proses part 1
Akhir-akhir ini banyak yang tanya terkait proses kami berdua sebelum menikah. Mungkin belum ada yang percaya kalau saya berkisah tentang awal-awal kami proses, hem? Tapi, saya masih akan mencoba berbagi kisah itu. Selamat menikmati ^.^
Sebuah pesan dari saudari nun di seberang pulau membuat saya harus membalasnya. Kalau ada orang yang menyayangi kita, bagaimana sikap kita mbak? begitu tanyanya. Saya mencoba menjawab bila saya berada di posisinya. Yeah, saya kira saat itu ia sedang curhat. Saudari dekat saya itu membalas lagi pesan saya, dan entah yang keberapa saya lupa, isi pesannya mengejutkan saya.
Sebenarnya ada orang yang sangat menyayangi mbak. Hadhuh, belum pernah saya kelimpungan begini. Biasanya saya cuek menghadapi fans-fans(?) saya. Tapi kalau saudari saya yang bicara serius begini, saya ragu untuk cuek. Dan setelah mengurangi keterkejutan saya dari berita pertama, rasa terkejut saya dimunculkan lagi dengan pesan sang saudari ini, bahwa orang yang memiliki perasaan itu adalah orang yang saya anggap rival. Shock? Banget. Akhirnya saya minta saudari saya itu menjadi perantara dan menyuruh lelaki itu kalau benar mau serius tanya pada saya juga.
Saat itu saya baru menenangkan diri dari trauma cinta. Hayyah, istilah apa pula itu. Pastinya, saya sebenarnya sedang ingin menyendiri karena proses yang gagal secara dramatis sebelumnya. Saya belum tahu perasaan saya, tapi saya cuma mengikuti kata hati saya untuk meminta saudari saya menanyakan keseriusan lelaki itu.
Sehari, dua hari, belum ada kepastian dari lelaki itu. Geregetan? Pastinya. Serius nggak sih? apa cuma berani punya rasa aja? Nih cowok berani atau cemen sih? Jengkel saya kemudian saya sms saudari saya, meminta pertimbangannya. Akhirnya, saya sms lelaki itu, meminta pertimbangannya juga bila saya ingin berproses.
may: mas, kalau ada orang yang suka sama may, trus may ada rasa (rasa pengen bukjtiin sebenernya...meski mungkin saat itu udah ada sedikit suka) juga, baiknya gimana?
mas: kalo sama-sama ada rasa, kenapa nggak dicoba proses aja?
may: oh gitu. *hening* ya udah, mas sendiri mau nggak?
mas: maksud may?
may: mas mau nggak proses sama may?
mas: eh? beneran?
may: may tanya mama sama bapak dulu, nanti kalau dibolehin, kita proses, gimana?
mas: iya, boleh. makasih ya
sekarang saya tertawa kalau ingat, kok mau ngajak proses kayak nawar dagangan di pasar gitu ya? seolah main-main. But, it's me, him, and us. kami nggak bisa dengan gaya bahasa lembut (saat itu). Dan saya bergerak cepat, segera bertanya pada mama dan memastikan langkah kami berikutnya.
may: ma, kalo...misalnya ada laki-laki jogja yang mau nikah sama aku gimana?
mama: jogja?
may: iya, orangnya sih kerja di sulawesi sekarang. tapi asli jogja (sebelumnya ada ikhwan asli kalimantan yang mama ngeliat may ngeri gitu). itu tuh yang kasih boneka lumba-lumba
mama: *kayaknya mukanya shock* eh? oh, si itu...
may: iya *iya-iya aja padahal belom tentu sama orang yang dimaksud*
mama: kerja?
may: iya
mama: di mana?
may: *waduh, parah, may gak inget* itu ma, yang jadi teknisi truk-truk gede gitu -____-"
mama: kamu mau dibawa ke sana nanti?
may: belum tanya, sih ma. tapi kayaknya bisa mutasi deh, katanya kantor pusat di jakarta *ngasal mode on*
dan mama baru mengiyakan esok harinya. alhamdulillah, meski di awalnya rada aneh gitu tapi proses kami berlanjut sampai sekarang. satu yang saya sesalkan: saya kehilangan momen diajak proses >.< padahal pengeeen beud ditanya: may, mau menjadi ibu dari anak-anakku kelak? atau may, bersedia jadi pelengkap hidupku?
tapi, saat itulah kami memulai proses dengan upaya keterjagaan. sulit di awal, karena kami sadar kami sedang berbunga-bunga karena bisa berproses. tapi, dukungan dari teman-teman dekat serta perantara dahsyat itu membiasakan kami untuk berinteraksi hanya bila memang dibutuhkan. thanks a lot, all
dedicated for all my friends, khususon mas dian ^.^
Sebuah pesan dari saudari nun di seberang pulau membuat saya harus membalasnya. Kalau ada orang yang menyayangi kita, bagaimana sikap kita mbak? begitu tanyanya. Saya mencoba menjawab bila saya berada di posisinya. Yeah, saya kira saat itu ia sedang curhat. Saudari dekat saya itu membalas lagi pesan saya, dan entah yang keberapa saya lupa, isi pesannya mengejutkan saya.
Sebenarnya ada orang yang sangat menyayangi mbak. Hadhuh, belum pernah saya kelimpungan begini. Biasanya saya cuek menghadapi fans-fans(?) saya. Tapi kalau saudari saya yang bicara serius begini, saya ragu untuk cuek. Dan setelah mengurangi keterkejutan saya dari berita pertama, rasa terkejut saya dimunculkan lagi dengan pesan sang saudari ini, bahwa orang yang memiliki perasaan itu adalah orang yang saya anggap rival. Shock? Banget. Akhirnya saya minta saudari saya itu menjadi perantara dan menyuruh lelaki itu kalau benar mau serius tanya pada saya juga.
Saat itu saya baru menenangkan diri dari trauma cinta. Hayyah, istilah apa pula itu. Pastinya, saya sebenarnya sedang ingin menyendiri karena proses yang gagal secara dramatis sebelumnya. Saya belum tahu perasaan saya, tapi saya cuma mengikuti kata hati saya untuk meminta saudari saya menanyakan keseriusan lelaki itu.
Sehari, dua hari, belum ada kepastian dari lelaki itu. Geregetan? Pastinya. Serius nggak sih? apa cuma berani punya rasa aja? Nih cowok berani atau cemen sih? Jengkel saya kemudian saya sms saudari saya, meminta pertimbangannya. Akhirnya, saya sms lelaki itu, meminta pertimbangannya juga bila saya ingin berproses.
may: mas, kalau ada orang yang suka sama may, trus may ada rasa (rasa pengen bukjtiin sebenernya...meski mungkin saat itu udah ada sedikit suka) juga, baiknya gimana?
mas: kalo sama-sama ada rasa, kenapa nggak dicoba proses aja?
may: oh gitu. *hening* ya udah, mas sendiri mau nggak?
mas: maksud may?
may: mas mau nggak proses sama may?
mas: eh? beneran?
may: may tanya mama sama bapak dulu, nanti kalau dibolehin, kita proses, gimana?
mas: iya, boleh. makasih ya
sekarang saya tertawa kalau ingat, kok mau ngajak proses kayak nawar dagangan di pasar gitu ya? seolah main-main. But, it's me, him, and us. kami nggak bisa dengan gaya bahasa lembut (saat itu). Dan saya bergerak cepat, segera bertanya pada mama dan memastikan langkah kami berikutnya.
may: ma, kalo...misalnya ada laki-laki jogja yang mau nikah sama aku gimana?
mama: jogja?
may: iya, orangnya sih kerja di sulawesi sekarang. tapi asli jogja (sebelumnya ada ikhwan asli kalimantan yang mama ngeliat may ngeri gitu). itu tuh yang kasih boneka lumba-lumba
mama: *kayaknya mukanya shock* eh? oh, si itu...
may: iya *iya-iya aja padahal belom tentu sama orang yang dimaksud*
mama: kerja?
may: iya
mama: di mana?
may: *waduh, parah, may gak inget* itu ma, yang jadi teknisi truk-truk gede gitu -____-"
mama: kamu mau dibawa ke sana nanti?
may: belum tanya, sih ma. tapi kayaknya bisa mutasi deh, katanya kantor pusat di jakarta *ngasal mode on*
dan mama baru mengiyakan esok harinya. alhamdulillah, meski di awalnya rada aneh gitu tapi proses kami berlanjut sampai sekarang. satu yang saya sesalkan: saya kehilangan momen diajak proses >.< padahal pengeeen beud ditanya: may, mau menjadi ibu dari anak-anakku kelak? atau may, bersedia jadi pelengkap hidupku?
tapi, saat itulah kami memulai proses dengan upaya keterjagaan. sulit di awal, karena kami sadar kami sedang berbunga-bunga karena bisa berproses. tapi, dukungan dari teman-teman dekat serta perantara dahsyat itu membiasakan kami untuk berinteraksi hanya bila memang dibutuhkan. thanks a lot, all
dedicated for all my friends, khususon mas dian ^.^
Sabtu, 30 Juli 2011
My New Adventure
Judulnya dahsyat beud, padahal cuma mau cerita acara 'jalan-jalan' ke Depok, hehe. Eh, itu udah Depok atau masih Jakarta Selatan, ya? Xixixi, lupa saya. Yang pasti, sebuah perjalanan saya keluar rumah tidak terjadi bila bukan karena hal penting. So, let's hear this (ups! itu mah lagu di film Dhoom hehe).
Perjalanan itu bermula ketika saya mendapat pesanan travel pouch. itu tuh, tas pinggang yang ada tali di pahanya. Keren sih kalau lihat bentuknya. Karena barang sudah siap dikirim, jadi ndak bisa saya foto. Nih contoh aja ya ^.^
Gimana? keren kan gambarnya? Hehe. Aslinya tas itu keren lho. Ya, nggak sama memang, tapi yang penting sama-sama tali untuk pahanya ada. Oke, setelah seharian mencari info terkait penjual barang berkualitas, akhirnya saya putuskan esok harinya akan pergi ke sebuah toko untuk survei. Entah kenapa, mengandalkan teman untuk survei bukanlah kebiasaan saya.
Hari itu pun tiba. Matahari pagi menemani saya mengirim sms ke seorang teman untuk menanyakan angkot menuju lokasi. Yap, saya belum pernah naik angkot menuju Universitas Pancasila. Hehe, aneh ya? Tapi itulah kenyataannya. Saya mencoba rute baru karena untuk naik kereta saya tidak yakin di masa-masa penuh ini. Sambil menunggu SMS, saya menaiki bus 75 menuju Pasar Minggu, sebuah terminal bus sekaligus pasar di daerah Jakarta Selatan. Mau tahu busnya seperti apa? Silakan lihat di bagian kiri. Gambar itu hasil Googling, kok.
Oh iya, sebelum saya ke Pasar Minggu, sebelumnya saya ke Kantor Pos Mampang dulu. Kenapa? Saya berniat membeli tiket kereta jurusan Yogyakarta-Jakarta. Hehe, bersiap untuk arus balik, kawan. Ketika saya sampai di kantor pos, pelayanannnya serba elektronik. Keren! Saya mengambil nomor antrian dari mesin pencetak nomor. Tinggal tekan saja di layar touch screen itu, mau ngapain di kantor pos (tapi nggak ada pilihan untuk tidur, hehe). Wew, sepagi itu, pukul 09.00 WIB saya sudah dapat nomor 2019. Ya, anda tidak salah membaca angka itu. Fantastis! Ups, tapi mungkin yang nomor saya hanya 19, ya? Entah 20 di depan itu untuk apa.
Usai mengambil nomor antrian, saya menuju tempat duduk, mirip sofa, di depan loket paling ujung. Kata petugas sih itu khusus loket pembelian tiket kereta. Tak perlu menunggu lama untuk mendapat panggilan. Tapi, saya sedih ketika kata ibu-ibu petugasnya belum dibuka pendaftaran untuk tiket 5 september 2011 >.<. YUa sudahlah, saya segera menuju Ps. Minggu.
Sampai di Pasar Minggu, saya menunggu angkot coklat bernomor 04 (sesuai petunjuk teman via sms). Akhirnya saya naik angkot kecil sambil meminta pak supir menurunkan saya di depan Universitas Pancasila. Pak supir setuju dan saya terus mengamati jalan yang kami lewati. Hingga akhirnya saya turun di bawah jembatan tinggi berwarna biru tepat di seberang Universitas Pancasila.
Dan saya tercengang melihat jembatan yang tingginya mungkin di atas 3 meter itu! Satu-satunya jalan menuju seberang hanya jembatan ini tapi saya sendiri merinding di ketinggian. Oke, berbekal bismillah dan istighfar saya melewati jembatan yang tinggi itu. Ups, cobaan belum berakhir, di bagian tengah, tepatnya di atas rel kereta, jembatan itu meninggi lagi. Hiks, ya Allah, mudahkan saya. Semakin gencar saya beristighfar. Saya semakin sadar bahwa manusia lebih sering ingat Tuhannya ketika dalam ketidaknyamanan. Ya Allah, ampuni saya bila saya termasuk ke dalam golongan itu.
Saya membuka ponsel saya, mencari pesan berisi petunjuk jalan menuju toko. Di samping Universitas Pancasila katanya. Oke, let's start the adventure (alias penyasaran). Saya berjalan ke arah kiri dan menemukan sebuah jalan. Saya tidak memperhatikan nama gang tersebut. Katanya tidak jauh dari stasiun, jadi saya jalan saja hingga menemui tukang ketoprak.
"Permisi, Pak. Numpang tanya. Kalau SMA Kartika Sari di mana ya?" tanya saya akhirnya. Bapak itu memberi petunjuk agar saya terus saja dan berbelok ketika sudah di ujung jalan. Oke, saya ikuti petunjuknya. Ehem, saya terus menelusuri gang selebar 1 meter itu. ketika melewati komplek pemakaman, saya melihat beberapa orang berziarah. Setelah berbelok, saya menemui seorang bapak dan bertanya lagi. Setelah mendapat jawaban segera saya berjalan. Terus berbelok hingga saya berani berkata: Toko Leuser (toko yang saya tuju) benar-benar toko khusus pendaki. Ya, untuk mencapai toko tersebut saja sudah harus melalui jalan panjang dengan berbagai arah. Hingga akhirnya saya sampai di depan SMA Kartika Jaya. Saya hampiri seorang ibu penjual minuman. Setelah emmesan minuman dingin, saya menanyai ibu tersebut.
"Oh, toko alat pendakian, di belakang SMA ini persis mbak," ujar penjual makanan di samping ibu tadi. Saya mengangguk.
Setelah rehat sejenak, saya melanjutkan acara jalan kaki ini. Dan setelah keluar dari jalan SMA Kartika Sari, saya tercengang. Jadi, tadi saya berjalan memutar!? *mestinya berjalan ke kanan kampus, tapi saya memilih kiri kampus Univ. Pancasila.
Sampailah saya ke toko Leuser
Perjalanan itu bermula ketika saya mendapat pesanan travel pouch. itu tuh, tas pinggang yang ada tali di pahanya. Keren sih kalau lihat bentuknya. Karena barang sudah siap dikirim, jadi ndak bisa saya foto. Nih contoh aja ya ^.^
Gimana? keren kan gambarnya? Hehe. Aslinya tas itu keren lho. Ya, nggak sama memang, tapi yang penting sama-sama tali untuk pahanya ada. Oke, setelah seharian mencari info terkait penjual barang berkualitas, akhirnya saya putuskan esok harinya akan pergi ke sebuah toko untuk survei. Entah kenapa, mengandalkan teman untuk survei bukanlah kebiasaan saya.
Hari itu pun tiba. Matahari pagi menemani saya mengirim sms ke seorang teman untuk menanyakan angkot menuju lokasi. Yap, saya belum pernah naik angkot menuju Universitas Pancasila. Hehe, aneh ya? Tapi itulah kenyataannya. Saya mencoba rute baru karena untuk naik kereta saya tidak yakin di masa-masa penuh ini. Sambil menunggu SMS, saya menaiki bus 75 menuju Pasar Minggu, sebuah terminal bus sekaligus pasar di daerah Jakarta Selatan. Mau tahu busnya seperti apa? Silakan lihat di bagian kiri. Gambar itu hasil Googling, kok.
Oh iya, sebelum saya ke Pasar Minggu, sebelumnya saya ke Kantor Pos Mampang dulu. Kenapa? Saya berniat membeli tiket kereta jurusan Yogyakarta-Jakarta. Hehe, bersiap untuk arus balik, kawan. Ketika saya sampai di kantor pos, pelayanannnya serba elektronik. Keren! Saya mengambil nomor antrian dari mesin pencetak nomor. Tinggal tekan saja di layar touch screen itu, mau ngapain di kantor pos (tapi nggak ada pilihan untuk tidur, hehe). Wew, sepagi itu, pukul 09.00 WIB saya sudah dapat nomor 2019. Ya, anda tidak salah membaca angka itu. Fantastis! Ups, tapi mungkin yang nomor saya hanya 19, ya? Entah 20 di depan itu untuk apa.
Usai mengambil nomor antrian, saya menuju tempat duduk, mirip sofa, di depan loket paling ujung. Kata petugas sih itu khusus loket pembelian tiket kereta. Tak perlu menunggu lama untuk mendapat panggilan. Tapi, saya sedih ketika kata ibu-ibu petugasnya belum dibuka pendaftaran untuk tiket 5 september 2011 >.<. YUa sudahlah, saya segera menuju Ps. Minggu.
Sampai di Pasar Minggu, saya menunggu angkot coklat bernomor 04 (sesuai petunjuk teman via sms). Akhirnya saya naik angkot kecil sambil meminta pak supir menurunkan saya di depan Universitas Pancasila. Pak supir setuju dan saya terus mengamati jalan yang kami lewati. Hingga akhirnya saya turun di bawah jembatan tinggi berwarna biru tepat di seberang Universitas Pancasila.
Dan saya tercengang melihat jembatan yang tingginya mungkin di atas 3 meter itu! Satu-satunya jalan menuju seberang hanya jembatan ini tapi saya sendiri merinding di ketinggian. Oke, berbekal bismillah dan istighfar saya melewati jembatan yang tinggi itu. Ups, cobaan belum berakhir, di bagian tengah, tepatnya di atas rel kereta, jembatan itu meninggi lagi. Hiks, ya Allah, mudahkan saya. Semakin gencar saya beristighfar. Saya semakin sadar bahwa manusia lebih sering ingat Tuhannya ketika dalam ketidaknyamanan. Ya Allah, ampuni saya bila saya termasuk ke dalam golongan itu.
Saya membuka ponsel saya, mencari pesan berisi petunjuk jalan menuju toko. Di samping Universitas Pancasila katanya. Oke, let's start the adventure (alias penyasaran). Saya berjalan ke arah kiri dan menemukan sebuah jalan. Saya tidak memperhatikan nama gang tersebut. Katanya tidak jauh dari stasiun, jadi saya jalan saja hingga menemui tukang ketoprak.
"Permisi, Pak. Numpang tanya. Kalau SMA Kartika Sari di mana ya?" tanya saya akhirnya. Bapak itu memberi petunjuk agar saya terus saja dan berbelok ketika sudah di ujung jalan. Oke, saya ikuti petunjuknya. Ehem, saya terus menelusuri gang selebar 1 meter itu. ketika melewati komplek pemakaman, saya melihat beberapa orang berziarah. Setelah berbelok, saya menemui seorang bapak dan bertanya lagi. Setelah mendapat jawaban segera saya berjalan. Terus berbelok hingga saya berani berkata: Toko Leuser (toko yang saya tuju) benar-benar toko khusus pendaki. Ya, untuk mencapai toko tersebut saja sudah harus melalui jalan panjang dengan berbagai arah. Hingga akhirnya saya sampai di depan SMA Kartika Jaya. Saya hampiri seorang ibu penjual minuman. Setelah emmesan minuman dingin, saya menanyai ibu tersebut.
"Oh, toko alat pendakian, di belakang SMA ini persis mbak," ujar penjual makanan di samping ibu tadi. Saya mengangguk.
Setelah rehat sejenak, saya melanjutkan acara jalan kaki ini. Dan setelah keluar dari jalan SMA Kartika Sari, saya tercengang. Jadi, tadi saya berjalan memutar!? *mestinya berjalan ke kanan kampus, tapi saya memilih kiri kampus Univ. Pancasila.
Sampailah saya ke toko Leuser
Rabu, 20 Juli 2011
Status Baru Pengiring Usia 24
Lama sekali sepertinya saya tidak menulis di blog. Hehehe, kali ini saya mau mengabarkan beberapa hal baru. Yah, ngikut judul, laah. Ini tentang usia 24 tahun yang sedang saya jalani. Yuk, kita mulai.
24 tahun adalah masa yang bisa dibilang tua, hehehe. Tapi ternyata masih banyak kok yang menganggap saya muda, heuheu. Alhamdulillah masih imut berarti. Dan 24 tahun ini adalah masa saya mulai memunculkan keberanian saya dalam beberapa hal, terkait status baru saya. Apa saja itu?
Saya bukan gadis terbaik dan cemerlang di mata orang-orang. Saya hanya gadis biasa dengan segala sifat manusianya saat masih menjabat usia 24 tahun 3 bulan 18 hari. Dan di usia baru itu saya mendapat status baru: istri. Wew, ada lelaki beruntung yang bisa memberi status baru pada saya, alhamdulillah. Saat itu, sepertinya banyak gadis yang memimpikan posisi seperti saya: menjadi istri. Padahal, saya menginginkan juga posisi mereka: sarjana. Kok bisa?
Yep. Saya belum lulus saat menikah. Padahal saya bertekad akan lulus kuliah sebelum menikah. Apakah saya tidak konsisten dengan tekad saya? Entah. Saya hanya berprasangka baik bahwa Allah telah menuliskan skenario terbaikNya untuk saya. Saya ingat ketika saya mencurahkan keinginan saya, ke'iri'an saya terkait kelulusan pada seorang teman bijak, beliau mengingatkan suatu hal. Begini kata beliau yang saya ingat.
"Tiap orang punya jatahnya masing-masing. Kamu pengen kayak A yang udah lulus, tapi si A pengennya udah nikah kayak kamu. kalau pengen-pengen gitu, nggak bersyukur namanya."
Terima kasih, teman, atas nasehatmu. Akhirnya saya menyemangati diri saya bahwa saya bisa lulus kuliah meski sudah menikah. Karena lulus kuliah adalah amanah keluarga saya, khususnya kedua orangtua dan almarhum kakek. Kembali saya menguatkan diri bahwa saya harus memecut semangat di status baru ini.
Kemudian saya menjabat status baru lagi: mahasiswa baru. Hal ini terjadi setelah saya memikirkan semua hal terkait kuliah saya. "Berbincang" dengan Allah, merenungkan semua faktor keterlambatan lulus kuliah. Hingga akhirnya saya membuat keputusan: pindah kuliah. Banyak sekali faktor yang tidak bisa saya jelaskan terkait kepindahan ini. Tapi satu yang pasti, ini adalah buah kejujuran diri saya. Selama ini saya menutup kejujuran itu dengan perasaan tidak enak kalau mengecewakan. Dan saya sadar, menutup kejujuran itu dengan alasan tidak enak takut mengecewakan malah sebenarnya sangat mengecewakan. Setelah melalui berbagai proses di sebuah kampus swasta, akhirnya saya diterima. Dan dukungan moral kedua orangtua saya tidak pernah hilang selama proses itu. Terima kasih, Ma, Pak, Mas, yang berusaha mendukung putri kecil ini.
Oke, intinya, saya bahagia dengan dua status baru saya. Doakan saya ya semoga istiqomah (berkelanjutan) dalam menjalankan dua status saya itu ^.^
Kamis, 16 Juni 2011
Suatu Siang di Ruang Terang
"Katakan pada saya apa yang kalian tidak senangi. Atau sebuah ketidaknyamanan. Saya ingin kita semua terbuka." lelaki berjanggut tipis itu berucap pada stafnya. Arwin, si lelaki berjanggut tipis, sedang berada dalam kondisi pasca rapat pekanan tim redaksi. Segera Shinta mengangkat tangan kanannya.
"Saya tidak nyaman dengan Bapak. Saya merasa tegang meski Bapak mengajak kami bercanda." ujar Shinta lugas. Hening. Sesekali terdengar bisik-bisik. Arwin adalah lelaki yang sangat menjaga wibawanya. Ia tak menyangka akan mendapat kalimat itu.
"Ada lagi? Atau hanya satu?"
"Saya juga," lelaki bernama Ridwan yang dikenal santun dan rendah hati itu mengacungkan tangannya. "Saya merasa tidak nyaman dengan jarak yang Bapak buat."
Mungkin mereka masih belajar dalam kehidupan kerja sehingga idealisme mahasiswanya dahulu masih terbawa. Mungkin Arwin terlalu menjaga wibawanya sehingga terkesan mebuat jarak terhadap stafnya.
"Fahim. Bisa jelaskan semua ini?" tanya Arwin. Menurutnya, Fahim adalah orang yang netral di antara ia dan stafnya. Fahim juga orang yang dituakan dan didengar oleh sebagian staf pemula seperti Ridwan dan Shinta, meski mereka lulusan tahun yang sama.
"Saya yakin, Pak. Ridwan dan Shinta sama seperti saya, baru belajar di dunia kerja. Kami masih perlu bimbingan untuk mengenal dunia kerja. Tapi, mungkin gaya Bapak juga mempengaruhi penilaian kawan-kawan. Ada baiknya kita minta contoh dari Shinta atau Ridwan atas ungkapan mereka," jawab Fahim usai berpikir sejenak. Arwin mengangguk, meminta Shinta dan Ridwan mengajukan contoh sikapnya.
"Bapak itu lebih...meng...menilai si A ini salah, padahal belum tentu," ucap Shinta.
"Maksudnya?"
Shinta menatap Fahim. meminta dukungan akan kata-kata yang mungkin bisa Fahim keluarkan. Fahim coba mencerna maksud Shinta sehingga ia akhirnya bisa menerjemahkan secara verbal maksud Shinta.
"Maksud Shinta, Bapak sering menjustifikasi seseorang. Padahal kan belum tentu baik bila diceritakan di depan orang. Dan Bapak mencoba menjaga jarak dengan orang-orang yang Bapak lihat salah," Fahim mencobanya disertai anggukan Shinta, juga Ridwan.
"Jadi kamu bilang saya asal menghakimi orang? Ada faktanya kan?" nada Arwin mulai meninggi, membiarkan suasana di ruang rapat memanas. Shinta menggenggam tangan Fahim yang kini menjadi fokus bola mata Pak Ridwan. Oke, kini Fahim adalah orang yang kurang disukai Ridwan akibat ucapannya.
"Saya sekadar mengkl...."
"Kalau benar, kenapa takut? Toh kita belajar di sini," ujar Ridwan. Fahim dan Shinta memilih diam. Bagi mereka, menjawab Ridwan hanya akan memperpanjang kemarahannya yang tiada ujung pangkal.
"Saya tidak nyaman dengan Bapak. Saya merasa tegang meski Bapak mengajak kami bercanda." ujar Shinta lugas. Hening. Sesekali terdengar bisik-bisik. Arwin adalah lelaki yang sangat menjaga wibawanya. Ia tak menyangka akan mendapat kalimat itu.
"Ada lagi? Atau hanya satu?"
"Saya juga," lelaki bernama Ridwan yang dikenal santun dan rendah hati itu mengacungkan tangannya. "Saya merasa tidak nyaman dengan jarak yang Bapak buat."
Mungkin mereka masih belajar dalam kehidupan kerja sehingga idealisme mahasiswanya dahulu masih terbawa. Mungkin Arwin terlalu menjaga wibawanya sehingga terkesan mebuat jarak terhadap stafnya.
"Fahim. Bisa jelaskan semua ini?" tanya Arwin. Menurutnya, Fahim adalah orang yang netral di antara ia dan stafnya. Fahim juga orang yang dituakan dan didengar oleh sebagian staf pemula seperti Ridwan dan Shinta, meski mereka lulusan tahun yang sama.
"Saya yakin, Pak. Ridwan dan Shinta sama seperti saya, baru belajar di dunia kerja. Kami masih perlu bimbingan untuk mengenal dunia kerja. Tapi, mungkin gaya Bapak juga mempengaruhi penilaian kawan-kawan. Ada baiknya kita minta contoh dari Shinta atau Ridwan atas ungkapan mereka," jawab Fahim usai berpikir sejenak. Arwin mengangguk, meminta Shinta dan Ridwan mengajukan contoh sikapnya.
"Bapak itu lebih...meng...menilai si A ini salah, padahal belum tentu," ucap Shinta.
"Maksudnya?"
Shinta menatap Fahim. meminta dukungan akan kata-kata yang mungkin bisa Fahim keluarkan. Fahim coba mencerna maksud Shinta sehingga ia akhirnya bisa menerjemahkan secara verbal maksud Shinta.
"Maksud Shinta, Bapak sering menjustifikasi seseorang. Padahal kan belum tentu baik bila diceritakan di depan orang. Dan Bapak mencoba menjaga jarak dengan orang-orang yang Bapak lihat salah," Fahim mencobanya disertai anggukan Shinta, juga Ridwan.
"Jadi kamu bilang saya asal menghakimi orang? Ada faktanya kan?" nada Arwin mulai meninggi, membiarkan suasana di ruang rapat memanas. Shinta menggenggam tangan Fahim yang kini menjadi fokus bola mata Pak Ridwan. Oke, kini Fahim adalah orang yang kurang disukai Ridwan akibat ucapannya.
"Saya sekadar mengkl...."
"Kalau benar, kenapa takut? Toh kita belajar di sini," ujar Ridwan. Fahim dan Shinta memilih diam. Bagi mereka, menjawab Ridwan hanya akan memperpanjang kemarahannya yang tiada ujung pangkal.
Sabtu, 30 April 2011
Suku Calon Pasangan
Sore ini lagi-lagi saya diskusi singkat dengan Bapak. Kali ini terkait suku pasangan.
"Pak, waktu nerima Mas Dian, itu karena suku bukan?" tanya saya sambil nyengir.
"Ya nggak. Masa karena suku?"
"Terus?"
"Karena orangnya. Orangnya baik, ya udah..." jawab Bapak agak tersendat. Xixixi, saya menangkap pelajaran psikologi: lelaki tidak selalu butuh alasan untuk sebuah keputusan.
"Jadi suku nggak pengaruh, nih?" tanya saya lagi, memastikan.
"Nggak. Kalau sukunya sama-sama kita, Jawa, tapi kelakuan orangnya nggak baik....yaa Bapak nggak mau," jawab Bapak.
Hmm, jadi ingat seorang teman yang tahun-tahun lalu bercerita pada saya bahwa ia tak mau menikah dengan orang suku tertentu. Ktika saya tanya alasannya, ia hanya mengungkapkan pikirannya.
"Meski nggak semuanya begitu, tapi kan keluarganya mau nggak mau masih berpikiran gitu May."
"Kok tahu?"
"Udah ngenal beberapa keluarga," jawabnya.
Yeah, masalah suku memang bukan hal yang syar'i sebagai rukun nikah atau syarat nikah dalam Islam (dalam agama lain mungkin termasuk). Tapi masalah suku juga nggak bisa dikesampingkan begitu saja karena hal ini terkait kehidupan sosial...hmm, atau hidup bersosialisasi kelak setelah menikah.
Ada suku yang dihindari karena adat seserahannya yang menyulitkan. Ada suku yang dihindari karena dikenal wataknya keras. Ada suku yang dihindari karena dikenal pelit. Ada juga suku yang dihindari karena dikenal cuek. Padahal itu kan cuma sukunya, bukan orangnya. Saya lupa peribahasanya, tapi intinya, sebagian besar tidak menggambarkan semua bagian itu sama.
Jadi, apakah wajar kalau ada yang inginkan suku tertentu atau malah menghindari suku tertentu dalam kriteria calon pasangan hidupnya? menurut saya wajar saja. Tapi itu bukan masalah utama. karena Bapak saya bicara sendiri, bahwa suku tidak begitu penting, tapi kelakuan orangnya.
Jadi, kawan, jangan bersedih bila kalian orang dari suku tertentu yang dihindari, karena jodoh tidak ditentukan dari suku. Jodoh ditentukan oleh Allah bukan? ^.^
"Pak, waktu nerima Mas Dian, itu karena suku bukan?" tanya saya sambil nyengir.
"Ya nggak. Masa karena suku?"
"Terus?"
"Karena orangnya. Orangnya baik, ya udah..." jawab Bapak agak tersendat. Xixixi, saya menangkap pelajaran psikologi: lelaki tidak selalu butuh alasan untuk sebuah keputusan.
"Jadi suku nggak pengaruh, nih?" tanya saya lagi, memastikan.
"Nggak. Kalau sukunya sama-sama kita, Jawa, tapi kelakuan orangnya nggak baik....yaa Bapak nggak mau," jawab Bapak.
Hmm, jadi ingat seorang teman yang tahun-tahun lalu bercerita pada saya bahwa ia tak mau menikah dengan orang suku tertentu. Ktika saya tanya alasannya, ia hanya mengungkapkan pikirannya.
"Meski nggak semuanya begitu, tapi kan keluarganya mau nggak mau masih berpikiran gitu May."
"Kok tahu?"
"Udah ngenal beberapa keluarga," jawabnya.
Yeah, masalah suku memang bukan hal yang syar'i sebagai rukun nikah atau syarat nikah dalam Islam (dalam agama lain mungkin termasuk). Tapi masalah suku juga nggak bisa dikesampingkan begitu saja karena hal ini terkait kehidupan sosial...hmm, atau hidup bersosialisasi kelak setelah menikah.
Jadi, apakah wajar kalau ada yang inginkan suku tertentu atau malah menghindari suku tertentu dalam kriteria calon pasangan hidupnya? menurut saya wajar saja. Tapi itu bukan masalah utama. karena Bapak saya bicara sendiri, bahwa suku tidak begitu penting, tapi kelakuan orangnya.
Jadi, kawan, jangan bersedih bila kalian orang dari suku tertentu yang dihindari, karena jodoh tidak ditentukan dari suku. Jodoh ditentukan oleh Allah bukan? ^.^
Cerita Pertama Suamiku
Saya sudah sering dengar, tapi beda rasanya ketika suami saya bercerita tentang ini dengan mata menutup (sudah mengantuk sepertinya, hehe)
Ikuti langkah2 berikut :
1.Pertama : Pertemukan kedua telapak tangan anda,jari tengah saling
ditekuk ke dalam
2.Kemudian : 4 jari yang lain pertemukan ujung nya,
3.Permainan dimulai : pasang jari tetapi hanya 1 pasang yang tidak
terpisahkan (jari tengah)
4.cobalah membuka ibu jari anda,ibu jari anda mewakili orang tua,
Ibu Jari bisa dibuka karena semua manusia akan mengalami sakit & mati.
Dengan demikian orang tua akan meninggalkan kita suatu hari nanti.
5.Tutup kembali ibu jari anda,kemudian buka jari telunjuk anda,jari telunjuk
mewakili kakak dan adik anda,mereka memiliki keluarga sendiri,sehingga
mereka juga akan meninggalkan kita
6 Sekarang tutup kembali jari telunjuk anda,buka jari kelingking yang
mewakili anak2,cepat atau lambat anak2 juga akan meninggalkan kita.
7.Selanjut nya : Tutup jari kelingking anda,bukalah jari manis anda.Tempat
dimana kita menaruh cincin perkawinan anda.kamu akan heran karena jari
tersebut tidak akan bisa dibuka.karena jari manis mewakili suami & istri.
Selama hidup anda dan pasangan kamu akan terus melekat satu sama lain.
Ikuti langkah2 berikut :
1.Pertama : Pertemukan kedua telapak tangan anda,jari tengah saling
ditekuk ke dalam
2.Kemudian : 4 jari yang lain pertemukan ujung nya,
3.Permainan dimulai : pasang jari tetapi hanya 1 pasang yang tidak
terpisahkan (jari tengah)
4.cobalah membuka ibu jari anda,ibu jari anda mewakili orang tua,
Ibu Jari bisa dibuka karena semua manusia akan mengalami sakit & mati.
Dengan demikian orang tua akan meninggalkan kita suatu hari nanti.
5.Tutup kembali ibu jari anda,kemudian buka jari telunjuk anda,jari telunjuk
mewakili kakak dan adik anda,mereka memiliki keluarga sendiri,sehingga
mereka juga akan meninggalkan kita
6 Sekarang tutup kembali jari telunjuk anda,buka jari kelingking yang
mewakili anak2,cepat atau lambat anak2 juga akan meninggalkan kita.
7.Selanjut nya : Tutup jari kelingking anda,bukalah jari manis anda.Tempat
dimana kita menaruh cincin perkawinan anda.kamu akan heran karena jari
tersebut tidak akan bisa dibuka.karena jari manis mewakili suami & istri.
Selama hidup anda dan pasangan kamu akan terus melekat satu sama lain.
Minggu, 24 April 2011
Tentang Cinta Seorang Suami
Dil ne yeh kaha hai dil se
mohabbat ho gayi hai tum se
Dentingan musik diiringi sebait lagu awal itu menggugah saya untuk terus menyimak. Ya, seorang teman membuat saya penasaran dengan kesukaannya akan sebuah lagu berjudul "dil ne yeh kaha hai". Saya search di web khusus video dan mendapati lagu itu berupa klip india. hmm, ternyata, itu adalah bagian cerita sebuah film zaman dahulu India!
entah kenapa saya merasa sangat tertarik menyimak sampai habis, bahkan mendownload lagu ini. Tak hanya itu, saya juga mencari tahu tentang film tersebut. Sepertinya saya perlu menjabarkan sedikit film Dhadkan ini ya?
Seperti film India zaman dahulu yang hampir seragam kisah terkait percintaan, maka film ini juga diawali dengan kisah cinta putri orang kaya dengan pemuda tampan dari kalangan miskin dan dianggap anak haram. Eleuh, kejamnya dunia. Percintaan mereka ditentang, tentu dari pihak sang perempuan. Kemudian perempuan kaya dijodohkan dengan lelaki kaya juga. Oke, oke, untuk mempermudah, kita sebut nama yuk, toh dalam film ini juga ada nama-nama tokoh.
Anjali, sang gadis, meski sudah menjadi istri Ram, tetap menjaga kesucian cintanya pada Dev (pemuda miskin itu). Tak ada perselingkuhan fisik di sini karena Anjali otomatis tinggal bersama Ram yang jauh dari tempat tinggal Dev. Di sini juga dimulai kisah menantu yang selalu disalahkan oleh keluarga Rm. intinya, ketidakharmonisan deh. Anjali sabar menghadapi berbagai tuduhan yang diarahkan padanya sampai Ram juga ikut membela Anjali meski ia tahu Anjali belum mencintainya (eleeeeuh....). Ram yang dididik untuk membela kebenaran di dunia kepolisian, tidak peduli pada keluarganya yang terus menuduh Anjali. Ia terus membela Anjali bila memang Anjali terbukti benar. Lambat laun hal itu membuat Anjali jatuh hati pada Ram.
Ketika pernikahan mereka berjalan 3 tahun, Dev hadir kembali dalam hidup Anjali. Kini Dev sudah menjadi pengusaha kaya dan berusaha merebut Anjali (Duh, itu kan udah jadi istri orang). Anjali mulai teringat cinta lamanya dan bimbang.
Apa kata Ram ketika Anjali bimbang? Hmm, sangat indah.
Yap, bagi saya, Ram adalah sosok suami sejati yang begitu tegas menghadapi permasalahan hidupnya. Ram juga suami yang begitu sabar menjalankan kewajibannya sebagai suami: mengayomi keluarga. Ram sadar dirinya tidak dicintai sejak awal oleh istrinya, tapi ia tidak ingin menjadikan itu masalah besar dalam pernikahannya. Ia yakin bahwa Anjali adalah perempuan yang memang ditakdirkan Tuhan untuknya, jadi ia tak ragu untuk berusaha membahagiakan istrinya. Terakhir, Ram adalah sang pengambil keputusan. Yap, jelang akhir film, Dev mengakui perasaannya terhadap Anjali di depan Ram. Tapi tidak seperti film lebay lain yang pastinya pihak laki-lki menyerahkan pada perempuan untuk menentukan siapa yang dipilih. Di sini Ram membuktikan ke-suami-annya. Dipertahankannya Anjali sebagai istrinya.
Maaf temans, terganggu dengan tulisan saya. Hanya ingin menuliskan sudut pandang saya terhadap sebuah film saja.
Sabtu, 09 April 2011
[memori may-dian] Pertemuan Pertama
Memandang layar datar ini, aku teringat sebuah pertemuan. Pertemuan berkesan di antara sekian kesan pertemuan. Dia, lelaki yang bisa membuat orangtuaku berkata ‘ya’ atas rencana kami.
Malam itu aku mengadakan janji temu dengan seorang lelaki yang kutaksir usianya minimal 2 tahun di atasku. Selama ini kami belum pernah bertemu muka. Tentu saja karena beliau beda kota denganku. Yang mempertemukan kami hanya hobi terhadap anime Jepang. Beliau benar-benar penuh kejutan. Siapa sangka lelaki lulusan teknik ini menggandrungi Sailormoon—yang notabene disukai perempuan—sejak kecil? Tapi karena hal itulah kami bertemu. Beliau hendak memberikan DVD Sailormoon lengkap padaku. Hebat, sebegitunya, pikirku. Aku yang suka Naruto saja tidak sampai mengoleksi seluruh DVDnya.
Ketika kami berempat—aku dan temanku, beliau dan temannya—bertemu, lagi-lagi ada kejutan. Tasnya ituuuu benar-benar membuatku sweatdrop. Tas yang tren di kalangan ABG perempuan. Tas punggung dengan motif polkadot. Sangat identik dengan perempuan, bukan? Sedangkan aku memakai tas punggung yang err...maskulin sekali. Runtuh semua bayanganku tentang lelaki dewasa nan bertampang pekerja. Beliau malah lebih mirip ABG labil yang mejeng di keramaian.
Kami makan malam di sebuah tempat dan sedikit berbincang tentang hal-hal umum agar kedua teman kami juga bisa ikut bicara.
Saat yang kutunggu tiba, beliau memberi DVD Sailormoon. Eh? Beneran? Kuterima DVD-DVD itu dari tangannya.
“Ada lagi,” ujarnya. Surprise!! Dolphin pink yang pernah dibicarakannya ikut dibawa. Dan itu untukku. WHAT!? Aku? Aku yang lebih berminat dengan mobil-mobilan malah mendapatkan boneka? Tapi kuterima juga boneka itu, boneka kedua setelah pemberian dari mama.
“So sweet, manis banget,”sahut temanku. Aku hanya bisa mengucap terima kasih sambil berpikir tak percaya (ingat: saat itu aku tak menggaruk kepalaku). Kukira keterkejutanku sudah selesai. Ternyata tidak.
“Ini, sekalian. Kemarin beli di Gramedia,” katanya (kalau tidak salah). Sebuah buku berjudul “Taman-Taman Cinta Rasulullah”. Sungguh tega orang ini, memberiku buku yang sulit kucerna dengan organ perutku. Lagi-lagi ucapan terima kasih yang bisa kusampaikan. Heran, padahal dia tahu aku lebih suka buku-buku santai dan bergaya bahasa seperti Salim A. Fillah, tapi kenapa dia malah memberi buku terjemahan—yang notabene sangat kuhindari karena bahasanya yang berat—dari Arab pula? Bersyukurlah, May. Begitu pikirku. Dan saat itu tak ada pikiran apapun melintas.
“Sebenarnya mas kelahiran tahun berapa, sih? Kok gayanya kayak masih SMA?”
“1988.”
CUKUP! Aku bisa pingsan dengan semua kejutan ini. Jadi, wajar juga, dunk, kalau beliau suka Sailormoon?
“Saya kira May masih berumur 19,”lanjutnya. Kontan teman-teman tertawa. Kecuali aku. Benar-benar parah kondisiku saat itu. Habis sudah harapanku bertemu mas-mas yang usianya lebih tua, dewasa. *tapi beliau tetap dewasa, kok, ternyata.
Malam itu aku mengadakan janji temu dengan seorang lelaki yang kutaksir usianya minimal 2 tahun di atasku. Selama ini kami belum pernah bertemu muka. Tentu saja karena beliau beda kota denganku. Yang mempertemukan kami hanya hobi terhadap anime Jepang. Beliau benar-benar penuh kejutan. Siapa sangka lelaki lulusan teknik ini menggandrungi Sailormoon—yang notabene disukai perempuan—sejak kecil? Tapi karena hal itulah kami bertemu. Beliau hendak memberikan DVD Sailormoon lengkap padaku. Hebat, sebegitunya, pikirku. Aku yang suka Naruto saja tidak sampai mengoleksi seluruh DVDnya.
Ketika kami berempat—aku dan temanku, beliau dan temannya—bertemu, lagi-lagi ada kejutan. Tasnya ituuuu benar-benar membuatku sweatdrop. Tas yang tren di kalangan ABG perempuan. Tas punggung dengan motif polkadot. Sangat identik dengan perempuan, bukan? Sedangkan aku memakai tas punggung yang err...maskulin sekali. Runtuh semua bayanganku tentang lelaki dewasa nan bertampang pekerja. Beliau malah lebih mirip ABG labil yang mejeng di keramaian.
Kami makan malam di sebuah tempat dan sedikit berbincang tentang hal-hal umum agar kedua teman kami juga bisa ikut bicara.
Saat yang kutunggu tiba, beliau memberi DVD Sailormoon. Eh? Beneran? Kuterima DVD-DVD itu dari tangannya.
“Ada lagi,” ujarnya. Surprise!! Dolphin pink yang pernah dibicarakannya ikut dibawa. Dan itu untukku. WHAT!? Aku? Aku yang lebih berminat dengan mobil-mobilan malah mendapatkan boneka? Tapi kuterima juga boneka itu, boneka kedua setelah pemberian dari mama.
“So sweet, manis banget,”sahut temanku. Aku hanya bisa mengucap terima kasih sambil berpikir tak percaya (ingat: saat itu aku tak menggaruk kepalaku). Kukira keterkejutanku sudah selesai. Ternyata tidak.
“Ini, sekalian. Kemarin beli di Gramedia,” katanya (kalau tidak salah). Sebuah buku berjudul “Taman-Taman Cinta Rasulullah”. Sungguh tega orang ini, memberiku buku yang sulit kucerna dengan organ perutku. Lagi-lagi ucapan terima kasih yang bisa kusampaikan. Heran, padahal dia tahu aku lebih suka buku-buku santai dan bergaya bahasa seperti Salim A. Fillah, tapi kenapa dia malah memberi buku terjemahan—yang notabene sangat kuhindari karena bahasanya yang berat—dari Arab pula? Bersyukurlah, May. Begitu pikirku. Dan saat itu tak ada pikiran apapun melintas.
“Sebenarnya mas kelahiran tahun berapa, sih? Kok gayanya kayak masih SMA?”
“1988.”
CUKUP! Aku bisa pingsan dengan semua kejutan ini. Jadi, wajar juga, dunk, kalau beliau suka Sailormoon?
“Saya kira May masih berumur 19,”lanjutnya. Kontan teman-teman tertawa. Kecuali aku. Benar-benar parah kondisiku saat itu. Habis sudah harapanku bertemu mas-mas yang usianya lebih tua, dewasa. *tapi beliau tetap dewasa, kok, ternyata.
Langganan:
Postingan (Atom)