Pagi ini tetangga menyetel lagu bergenre dangdut koplo dengan judul lagu cinta monyet yang aslinya dibawakan Goliath. Pasti banyak nih yang tahu lagu itu. Saya jadi teringat masa lalu saya—sebuah pelajaran masa kini—di SMP dan SMA.
Masa SMP saya adalah masa indah versi saya. Saya sangat ingat ketika saya yang selalu mementingkan pelajaran mulai tergoda dengan laki-laki. Pengaruh sering membaca komik Jepang—bergenre serial cantik—juga mungkin yang terjadi pada saya. Sebagian besar komik itu menceritakan perempuan yang memendam perasaan terhadap teman sekolah, tetangga, atau bahkan pada gurunya. Yang tenar saat itu adalah Imadoki dan serial manis lain—terutama karangan Mito Orihara—sebagai acuan khayalan saya.
Tapi lelaki yang saya taksir pertama kali itu tidak jago basket seperti di dalam komik. Bukan lelaki tampan, dan dari segi kepintaran, jauh di bawah saya (helaah, narsis). Dia teman TK saya, juga teman klub karate saya di SMP. Keturunan Cina dengan agama Kong Hu Cu menepiskan harapan saya untuk jadian dengannya. Boro-boro jadian, dekat-dekat dia saja saya sudah gemetaran. Saya sangat ingat beberapa hal terkait perasaan saya itu:
1. Saya tanpa sengaja jadi ‘mesin absensi’ paling akurat terkait kehadirannya di sekolah karena mata saya mencari sosoknya terus.
2. Saya merasa bahwa dia terus memperhatikan saya, matanya terus tertuju pada saya sehingga saya salah tingkah sendiri.
3. Adrenalin saya naik, jantung saya berdegup sangat kencang dan cepat bila saya berdekatan atau bersisian dengannya. Bahkan sampai suara saya gemetar kala bicara dengannya (makanya saya memilih tak bicara padanya).
4. Saya gelisah kalau dia tidak muncul hari itu.
Masih banyak lagi, tapi itu yang sering saya alami saat merasakan suka. Seorang May yang notabene kutubuku bisa suka sama laki-laki? Saat itu saya tidak percaya, kawan. Tapi itu yang terjadi. Masih tersimpan rapi di diary.
Saya yakin kita tidak akan selalu berada di SMP, tapi akan beranjak lebih dewasa. SMA adalah jenjang berikutnya yang saya pilih. Lagi-lagi saya suka pada seseorang yang suka mengajak saya bertengkar. Saya alihkan segera dengan berbagai kegiatan. Meski saya tetap menjadi ‘mesin absensi’ akuratnya, saya lebih memilih menghindar karena hanya akan terus bertengkar bila bertemu mata. Mungkin benar, bila benci kadang menjadi cinta. Dan saya yakin itu bukan cinta monyet saya. Saya yakin bahwa itu cinta yang sebenarnya (namanya juga anak muda, meras benar bahwa saya benar-benar cinta).
Tahu apa saya soal cinta? Sedangkan saya memiliki idealisme untuk tidak menggembar-gemborkan perasaan terhadap lawan jenis beserta segala perniknya—pacaran,nikah,de el el—di kalangan siswa. Baik yang ikut ROHIS maupun tidak. Bagi saya, saat itu memikirkan kristenisasi serta penangkalannya, memikirkan saudara-saudara yang tidak beruntung mengecap kehidupan layak, jauh lebih penting dibanding memperbincangkan nikah, pacaran, cinta, de el el.
Meski sulit, pengalihan itu berbuah hasil. Saya tidak lagi memandang laki-laki itu seseorang yang berarti. Saya tidak lagi menjadi ‘mesin absensi’ akuratnya. Dan Sebelum lulus SMA, saya sudah menganggapnya sekadar rival saya.
Kini, saya hanya tersenyum bila mengingat semua itu. Menjadikannya pengalaman berharga saya terkait cinta di kalangan pemuda. Ya, tak perlu mencoba menghentikan rasa itu karena ia adalah warna masa-masa muda. Hanya mengalihkan pada kegiatan berguna. Dan ianya akan terlupa kala pikiran kita terpenuhi hal lain yang lebih bermakna. Tetap semangat, kawan muda ^.^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar