“Oke, kita akan..” ucapan Ryan terpotong oleh sebuah teriakan dan suara lain: benda pecah belah yang jatuh.
PRANG!!
“Aaaaa!!!” suara teriak itu terdengar. Ryan sebagai penanggung jawab di tempat itu segera berdiri dan mencari tahu apa yang terjadi. Gerakannya masih selincah dulu, saat awal ia diserahi tanggung jawab sebagai ketua Lembaga. Ryan dengan kemeja birunya segera menyingsingkan lengan panjang sampai ke sikunya. Tangan kekarnya yang coklat semakin terlihat. Khas pekerja keras.
“Ada apa?” tanya ryan akhirnya ketika ia sampai di ruang aula yang lebar. Matanya membelalak ketika menyadari bahwa kaca di bagian atap sebagiannya sudah hilang, berpindah menjadi serpihan di lantai marmer krem. Rasa terkejutny belum hilang kala mendapati seorang gadis—ya, seorang perempuan berjilbab—memegangi tangan mungilnya. Dan Ryan juga tak menyangka bahwa tangan gadis itu berwarna merah. Merah? Segera Ryan bergegas mendekati gadis itu.
“Kena..” ucap Ryan terpotong ketika ia semakin dekat.
“Ish. Ini, pecaha..” gadis itu juga tak kalah menghentikan ucapannya kala mata mereka bertatapan. “Ryan?”
“Melan?”
“Aku bisa sendiri.” Gadis yang dipanggil Melan itu segera berupaya melangkahkan kakinya. Tapi ia bingung karena hanya tempat Ryan berpijak yang kosong dari pecahan kaca. Sedangkan belakangnya adalah dinding. Ia tak bisa kemanapun sebenarnya.
“Mel, lepas egomu. Sini kuobati.” Jawab Ryan. Kacamata yang dipakainya semakin menunjukkan kesigapan Ryan untuk menolong Melan. Tapi gadis di hadapannya masih belum berubah.
--===---===
“Kenapa kau tak hadir saat laporan pertanggungjawaban?” tanya Ryan siang itu, sebulan setelah acara pertanggungjawaban kepengurusan Lembaga yang dipimpin Ryan. Melan yang dikenal sangat menjaga perasaan lawan bicara, kini tampak seperti orang lain di mata Ryan. Melan berani menatap nanar pada Ryan, ketuanya.
“Kau masih tanya? Ke mana kau saat aku di rumah sakit!” Melan meninggikan nadanya yang begitu terasa mengandung emosi bagi Ryan. Ya, Ryan masih bisa melihat Melan menahan bening airmatanya.
“Rumah sakit?”
“Ya. Apa tak ada yang mengabarimu? Aku sudah menyampaikan lewat telepon pada Desti. Dia menjengukku. Atau kau malah memang tak mau tahu, Tuan Perfect? Hanya memikirkan citra dirimu?”
“Tapi…”
“Tak apa. Aku memang tak bertanggung jawab di matamu. Cukup, aku tak akan ada di sini lagi.” Ucap Melan seraya menyingkir dari lobi gedung Lembaga, meninggalkan Ryan.
--===--===
“Melan…aku..aku minta maaf,” ucap Ryan sambil terus menatapi tangan berdarah milik gadis di hadapannya.
“Ish…” yang terdengar hanya ungkapan bahwa Melan menahan rasa sakitnya.
“Kemarikan tanganmu.” Akhirnya Ryan meraih tangan Melan tanpa menunggu interupsi sang gadis. Tekun dicabutnya serpihan-serpihan kaca yang ada di tangan Melan. Kecil memang, tapi tetap saja namanya luka. Melan hanya mampu meringis menahan sakitnya.
“Nah, sudah. Maaf kalau tadi sakit saat dicabut. Ikuti aku, kita obati lukamu,” perintah Ryan. Melan diam tak menjawab, hanya mengikuti arah langkah Ryan.
“Ry…Melan?” ucap teman mereka berdua, Andri. Ryan hanya bersegera melangkah ke kotak P3K yang memang selalu tersedia di ruangan itu. Sementara Melan? Hanya berdiri di depan ruangan tanpa berkata apapun. Tangannya masih mengalirkan darah walau tidak deras.
“Oke, dapat. Ndri, ngobrolnya ntar aja. Melan mau berobat dulu. Sini, Mel, masuk,” ucap Ryan bernada santai. Ryan meraih lengan Melan yang berbaju, mencoba meminimalisir sentuhannya pada gadis yang dihormati dan dicintainya. Segera ia melakukan ritual dengan kapas beralkohol ke tangan Melan yang tadi mengalirkan darah. Lagi-lagi Melan terdiam dan hanya meringis.
“Ehem, romantisnyaa…” goda Andri seperti biasa.
“Jangan cemburu kamu, Ndri. Oke, sekarang siap diperban. Tahan, ya,” sahut Ryan akan godaan Andri kemudian membalut tengan Melan dengan perban setelah ia bubuhkan obat ke atas luka-luka kecil itu.
“Sip. Pengobatannya selesai, Mel.” Lanjut Ryan. Kemudian Andri menghampiri mereka dengan 3 gelas minuman ringan dari kulkas ruangan tersebut.
“Kenapa bisa kena, Mel?” tanya Andri.
“Tadi aku lewat tempat ini dan mendengar ada suara aneh, begitu aku coba masuk, ternyata kaca-kaca atap pecah, dan pecahannya masuk ke aula.”
“Suara aneh?”
“Iya, Ndri. Mirip suara burung gagak yang nyaring banget terus hilang,” Melan kembali coba menjelaskan. Ia sudah lupa pada lukanya dan pada kekesalannya terhadap Ryan.
“Coba tadi aku yang ke sana…” ucap Andri
“Tak boleh!” Ryan menaikkan nadanya ketika melarang Andri. Seketika itu juga Andri tergelak.
“lihat, Mel, ketua kita begitu khawatir ada yang pertama menemukanmu selain dia.”
“A..apa, sih, kau, Ndri?” tanya Ryan, gusar.
“Sepertinya sudah, ya? Terima kasih perbannya. Aku pergi dulu,” ucap Melan.
“Tunggu, Mel.” Ryan mencegat Melan di depan pintu. Segera ia merogoh saku celananya. “Ini, supaya mudah kuhubungi,” lanjutnya sambil menyerahkan sebuah ponsel pada Melan.
“Aku sudah punya,”
“Tapi ini khusus untuk aku dan kamu,” Ryan memaksa.
“Lagi-lagi egois. Terserah kaulah Ry,” ucap Melan.
“Langsung kabarkan perkembangan di sekitar aula, ya. Aku dan Andri juga akan meneliti pecahan kaca tadi,” ucap Ryan, masih memerintah.
“A..apa?”
“Kaupikir aku tak butuh intuisi detektifmu itu? Ayo, Ndri. Kita cari tahu,” sahut Ryan. Melan terpaku sesaat di depan ruangan hingga akhirnya dia berteriak pada dua lelaki yang meninggalkannya.
“RYAAAAAAAAAAAAAANNNNNNNN!!!!”
“Hahahaha, dia sudah kembali seperti biasa,” ucap Ryan akhirnya setelah menoleh atas panggilan murka Melan tadi.
“Bilang saja kalau kangen,” Andri masih menggoda sahabatnya ini.
“Ya, aku sangat rindu padanya. Dan selesai kasus aula ini, aku akan melamarnya.” Sahut Ryan, kini dengan raut wajah yang tak lagi dimaknai dengan iseng.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar