Minggu, 09 November 2014

Lelaki yang Bukan Lelakiku

Lelaki itu berdiri di hadapanku, mengenalkan dirinya dengan bahasa universal, Bahasa Inggris. Jaket hitam yang harusnya ia kenakan hanya disampirkan begitu saja di bahunya. Ketika mengenalkan diri sebagai turis, ia berpakaian kasual: celana jeans dan kaos biru muda. Di antara turis lain, hanya ia yang begitu banyak bertanya selama perjalanan. Bahkan, ia menawariku berbagai camilan layaknya sikap terhadap turis lain. Ia tak peduli sepertinya kalau aku pemandunya.

"Apa itu?" tanyanya, tentu dalam Bahasa Inggris. Jari lentiknya mengarahkan mataku ikut melihat apa yang ia maksud. Mobil kami melewati sebuah anjungan yang ramai.

"Oh, itu janur kuning, penanda ada pernikahan di sana, Tuan Raj," jawabku. Pernikahan, kata yang melayangkan anganku pada suami yang sedang di Pulau K.

"Apa di tempat ini sering ada yang seperti itu?"

Aku yang sedari tadi ikut menyimak penjelasan pemandu Taman Mini Indonesia Indah jadi teralihkan dan mulai menjelaskan fungsi lain anjungan yang ada di tempat wisata ini pada Tuan Raj.

"Nanti jam istirahat kau temani aku ya, kita akan buat sesuatu yang seru," lanjutnya dengan diakhiri kedipan mata. Sementara aku, hanya melongo dengan tingkah turis ajaib ini. "Ayolah, aku jarang bebas begini," rengeknya kemudian. Wait, kenapa dia jadi berubah begini?

Dan akhirnya pada waktu istirahat kami berpencar. Tuan Raj mengajakku menuju anjungan yang tadi ia tanyakan. Mau apa dia ke acara pernikahan orang?

"Apa kami boleh masuk, nona-nona cantik?" tanyanya pada penerima tamu yang duduk manis di dekat pintu masuk bangunan.

"Si..Silakan," jawab penerima tamu itu. Kulihat mata genit gadis-gadis itu menatap nakal Tuan Raj. Haduh, Tutup ketemu botol ini sih, batinku.

"Terima kasih, cantik."

Tanpa sengaja kupegangi jaketnya, berharap kami tidak hilang di tempat asing ini. Kenapa aku dapat turis yang begini, sih?

"Aku ingin tahu seperti apa pestanya. Biasa saja ternyata. Kukira ada yang unik, Jihan," ucapnya setelah masuk beberapa meter ke dalam ruangan dengan disambut beberapa among tamu khas Jawa.

"Oke, kau sudah lihat dan bisakah kita keluar?"

"Tapi aku mau coba makanannya. Ayo ke sana," ajaknya lagi. Tuhan, cobaan macam apa ini? Ganteng-ganteng membuatku gila dengan tingkahnya yang kekanakan. Ia menarikku ke gubuk kecil yang bertuliskan "Soto Kudus". Masih dengan santainya ia menawariku semangkok yang akhirnya kutolak.

"Tuan Raj, lihat sekitar. Pakaian kita terlalu biasa dibanding tamu lain. Nanti kalau ketahuan..."

"Sotonya enak."

APA!? Dia malah mengomentari makanan!?

"Hei, kita temui pengantinnya, ya. Ide bagus sepertinya. Sangat tidak sopan kalau kita santap soto tanpa bertemu pemiliknya," ujarnya setelah menghabiskan soto. Belum sempat kuprotes, tanganku sudah ditariknya ke panggung. Tuhan, kumohon lebih baik aku pingsan daripada membiarkan orangtua pengantin serta beberapa tamu mengamati kami.

Kulihat Tuan Raj berlama-lama di depan pengantin pria. Mereka tertawa bersama dan sepertinya tangan Tuan Raj mengangsurkan sesuatu pada pria itu.

"Ayo keluar," ajaknya lagi. Yang pemandu itu siapa, sih?

"Tadi itu..."

"Kuceritakan aku ini artis yang sedang berlibur dan tertarik ke sini. Dia tidak keberatan dan menerima uang yang kuberikan."

Pantas saja, diberi uang. Eh, uang?

"Uang?"

"Iya, sedikit. Cuma 3 juta."

AAPAAA!!??

"TIGA JUTA KAUBILANG CUMAAA!!??"

Lelaki itu menutup mulutku dengan tangan besarnya.

"Kau ini...berisik sekali. Ayo, aku mau lihat-lihat tempat lain."

Kami berjalan lagi, keluar dari area anjungan.

"Tuan," panggilku.

"Apa?"

"Apa tidak sebaiknya kita kembali?"

"Sebentar lagi, ya. Aku mau naik kereta gantung. Kau ikut, ya." Jawabnya. Aku berdiri diam. "Iya, cuma kereta gantung, terus pulang," lanjutnya lagi. Lama-lama, aku lebih mirip teman jalannya dibanding pemandu. Kami mengantri dan naik kereta gantung seperti keinginannya.

"Jihan, kenapa diam? Itu danau apa?" tanyanya. Ia menunjuk miniatur kepulauan Indonesia yang akhirnya kujelaskan layaknya pemandu. Pulau K, Sulawesi, mengingatkanku pada suamiku.

"Hei, kau tahu, sebelum serial itu, aku sempat membaca tentang Atlantis. Beberapa teori memprediksi Indonesia dulunya Atlantis. Aku ditawari main tapi kutolak."

"Serial itu?" dia bicara apa, ya?

"Iya, yang tahun kemarin tenar di Indonesia juga. Kau tak tahu?"Melihatku yang menggeleng, ia raih ponselnya, mengetikkan sesuatu dan tak lama kemudian menunjukkan padaku gambarnya. "Ini."

Mahabharata?

"Jadi, Tuan Raj ini artis?" tanyaku polos. Kini gantian dia yang terbelalak.

"Jihaaaaan, kamu ini...eh, tapi sebentar. Bagus kalau kamu tidak tahu. Aku jadi makin nyaman," katanya lagi. Aku hanya memperhatikan foto para pemain serial yang tadi ditunjukkannya. Benar-benar make up artis itu hebat. Aku sampai tak mengenali turis ini.

"Di India aku tak bisa sebebas ini, Jihan. Terima kasih, ya..."

Aku diam, lebih memilih memainkan ponselnya. Membaca data dirinya.

"Namamu aneh, ya, Saurabh Raj Jain," kataku akhirnya.

"Aneh tapii keren. Hati-hati, nanti kau suka lho. Fansku di Indonesia banyak sekali lho,"

"Oh ya? lalu kenapa aku tak tahu siapa dirimu, ya?"

"Kau saja yang tidak tahu."

Aku tertawa melihat wajah kesalnya.

"Tawamu manis," ujarnya lagi yang membuatku langsung terdiam. Aku tak biasa dipuji lelaki dan pujiannya membuatku...keki. "Jihan, aku..."

"Sudah sampai. Ayo, pulang, Tuan Raj," ajakku memotong ucapannya. Aku sudah menebak apa yang akan dikatakannya. Bukan mau Ge-eR, tapi gelagatnya kutangkap sama persis seperti suamiku sewaktu mengungkapkan rasa sukanya padaku. Dan aku? Aku juga mulai merasakan suatu ketertarikan pada lelaki di hadapanku ini. Tapi aku sadar, kami bukan orang bebas, khususnya aku yang sudah menikah. Lagipula, lelaki yang mengaku artis ini tentunya pandai mengumbar suka di setiap tempat pada tiap perempuan yang dijumpainya. Siapa tahu, kan? Jadi, kubiarkan gelisah ini mendera asal kami tidak kebablasan, khususnya aku.

Kami lebih memilih saling diam, tidak seperti tadi.

"Ah, ada bus shuttle. Ayo naik," ajaknya.

"Tuan duluan saja, nanti aku menyusul," elakku.

"Kau ini aneh. Kau kan pemanduku, kalau aku tersesat bagaimana?"

Ah, iya. Aku harus profesional. Dia tamuku. Aku mengikutinya naik bus tapi duduk agak jauh darinya. Kubuka ponselku dan mengetikkan pesan singkat untuk lelaki di Pulau K, suamiku. Tak perlu menunggu lama untuk menerima balasannya. Detik itu juga, hatiku tidak segelisah tadi, malah terasa ringan.

"Jihan, aku minta maaf. Tapi terima kasih sudah menemaniku, Teman." suara Tuan Raj begitu dekat. Ketika aku menoleh, kudapati ia duduk di sebelahku. "Kita turun di mana?"

"Sebentar lagi, Tuan," jawabku singkat sambil membalas senyumnya. Iya, dia benar. Senyumnya menawan dan membuatku suka. Mungkin nanti aku perlu mencari DVD serialnya. Jarang jarang aku suka dengan pemain serial. Jarang nonton TV.

"Kau benar, sepertinya aku akan menjadi fansmu, Tuan Raj."

"Oh, iya? Senang mendengarnya, orang yang kusuka menjadi fansku."

"Suka?"

"Tadinya aku sempat suka. Sekelebat, untungnya sekelebat. Kau tahu? Beban rasaku terangkat begitu kuucap kata 'teman' padamu tadi. Kita berteman?"

"Ah, iya. Kita berteman. Terima kasih."

"Sama-sama. Lain kali kita bertemu dengan membawa pasangan masing-masing, ya."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar