Terima kasih untuk hari ini, Ya Rabb. Ada beberapa pengalaman baru yang May dapat. Oke, mungkin akan sesekali keluar kata 'saya' untuk menunjuk May. Tapi tak apa. Kisah kali ini saya yakin (tuh kan muncul 'saya'nya) akan membuat teman-teman berkerut, takut, dan terbahak (mungkin).
Hari ini saya berencana untuk shopping dengan kedua teman kampus. Oke, kami menuju suatu pusat perbelanjaan (sekaligus terminal) untuk sekadar transit angkutan umum. Yeah, saya pengguna setia angkutan umum sepertinya. Di tengah perjalanan, seorang pengamen masuk ke dalam angkot, menyanyikan lagu tentang panasnya Surabaya. Yah, tak apa, mungkin nostalgianya dengan kota Surabaya meski ini di Jakarta.
Selesai menyanyi, lelaki berumur itu menadahkan tangannya ke arah kami, penumpang angkot yang hanya berjumlah 4 orang. Tak lupa saya tekankan bahwa kami semua perempuan. Di sinilah kekonyolan itu terjadi. Saya dan Diah (nama samaran) memberi masing-masing uang pada sang pengamen, tapi tak lama kemudian pengamen itu kembali menadahkan tangannya pada kami. Oke, kali ini mimiknya bukan memelas seperti tadi, tapi sudah sangar. Kayu yang tadinya kami kira jadi instrumen mengamen pun mulai digoyangkan oleh bapak tadi.
"Maaf, Bang, tadi sudah," ucap seorang perempuan berdandan ala korea di sebelah saya.
"Maaf, Pak, bukannya sudah, ya?" tanya saya menolak halus. Lelaki itu beralih pada Diah dan Rin (nama samaran juga).
"Kan udah, Pak," kata Diah.
"Maaf, ya Pak,"
"Nggak cukup, Mbak. Kurang," kata lelaki tadi masih dengan nada memelas. Eh? Takaran cukup itu gimana ya?
"Kenapa dibuang?" tanya Rin. Sontak saya terhenyak. dibuang?
"Dibuang?" tanya saya heran, masih menekan nada supaya ndak tinggi.
"Iya, dibuang,"
"Nggak cukup, Mbak, buat makan," ucap Bapak itu, ngotot. Oke, sepertinya harus ada win-win solution (solusi sama-sama menang). Langsung saya keluarkan sekerat roti bekal yang dibawakan mama.
"Maaf, Pak, mungkin nggak kenyang, tapi semoga cukup untuk ngganjal perut Bapak," ucap saya dengan nada yang masih ramah. Yap, saat ditodong begini kita nggak boleh kelihatan takut, kan? Bahkan kalau perlu bersiap. Bapak itu masih menadahkan tangannya.
"Saya butuh uang, Mbak," ucapnya lagi.
"Tiap orang juga butuh uang, Pak, nggak cuma Bapak aja," ucap Rin. GILA! Ni anak pengen saya jitak rasanya. Bapak itu kembali pada saya, menadah. Tapi dengan nada dan wajah bersahabat (diusahakan biar nggak kelihatan ketakutan) saya tetap menyodorkan roti.
"Ini, Pak. Makan, kan?"
Bapak itu beralih pada Rin dan Diah.
"Semua orang punya kebutuhan masing-masing, lagian kenapa dibuang? Kan daripada Bapak buang dan d di sini, Bapak bisa ngamen ke angkot lain dan Bapak bisa dapet tambahannya," sahut Rin. Cukup, Rin sangat gila menurut saya. Tapi mungkin itu caranya membantu orang.
Bapak itu bolak balik dan mendapati tawaran yang sama: roti. atau kalau ke arah Rin, oh, tentu saja dapat jawaban itu. Hingga akhirnya dia ayunkan kayu itu.
"Bang! Turun sini aja!" teriak lelaki itu sambil memukulkan kayu ke jok penumpang, tanpa mengenai kami. Kesal? pasti. Kalau saya ada di posisi dia yang butuh uang, pasti sangat kesal karena ditawari roti, apalagi ceramah. Tapi, saya cuma bisa bilang: Bapak tadi menodong pada orang yang salah :D *eh, atau kaminya yang salah menyikapi? entahlah, tapi setidaknya Bapak saya bisa tersenyum mendengar cerita ini sambil berkata 'banyak berdoa, ya, nduk,'. Dan saya sadar, kekonyolan tadi sebagai bentuk penjagaan Allah pada kami, hambaNya. Dan yang tak dapat saya lupakan adalah: roti bekal dari mama. tanpa roti itu mungkin saya tak bisa menawarkan solusi praktis pada Bapak tadi. Ya, secara tidak langsung mama juga menjaga saya. Thanks a lot, Rabb, mama, Bapak ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar