Aku hanya ingat diriku sedang berada di sebuah ruang dengan pilar besar di beberapa bagiannya. Sebuah ruangan yang tak sejatinya berbentuk ruang karena tidak memiliki dinding.Berkumpul dengan berbagai macam orang dengan satu tujuan: belajar ilmu sejarah. Lelaki di depanku mengenalkan dirinya dan aku tak begitu mendengarnya. Hanya sekilas kutahu namanya: --enny. Entahlah Benny, Penny, atau Denny. Lelaki berambut ikal dengan garis wajah tegas, sangat lelaki. Kulitnya yang coklat muda, ah aku tak begitu mampu menggambarkan warna kulit lelaki di hadapanku ini. Kami membuka buku sejarah bersama, dan ia masih berusaha mengajakku bicara. Sangat meyakinkan gaya bicaranya.
"Anne, sepertinya kita akan ke tempatnya sekarang," ujar --enny itu sambil menunjuk sebuah gambar di bukunya. Kulihat sedikit dan hanya terlihat warna putih gading. Dan tak perlu menunggu waktu lama untuk melihatnya menghilang. Syukurlah, lelaki cerdas sepertinya bisa menggoyahkan hatiku bila terlalu lama. Dan aku sedang tidak mau bermain hati dengan lelaki cerdas manapun.
"Anne, ayo kita naik mobil itu, kita bisa bersama Bu Alice," ujar Lisa teman dekatku. Aku mengangguk dan membereskan bukuku kemudian mengikuti Alice menuju sebuah mobil putih, juga putih gading. Mengingatkanku pada lelaki tadi. Ah, sudahlah, toh kuliah ini terisi lebih dari 100 mahasiswa, mana mungkin aku bertemu dengannya?
Aku dan Lisa duduk di tengah. sebuah mobil unik karena di dalamnya tempat duduk penumpang dibuat berhadap-hadapan, padahal ini bukan mobil limousin. Ketika kuhadapkan diriku ke depan, sepertinya aku yakin Tuhan sedang mempermainkan hatiku. Lelaki itu sekarang duduk di hadapanku, lelaki cerdas itu sedang menekuni bukunya dan tak melihatku. Ah syukurlah kalau dia tak melihatku. Aku hanya bisa tergagap bila nanti ia mengajakku bicara. Tuhan, Kau sedang memainkan hatiku, kah?
Mobil berjalan dan lelaki itu melepaskan pandangannya dari lembaran kertas yang ia pegang. Sementara dalam waktu bersamaan keringat dingin sudah mulai keluar. Aku khawatir ia mengenaliku. Tapi...
Sepertinya Tuhan masih memihakku, ketika lelaki itu mengangkat wajahnya, kami memasuki lorong sehingga wajahku tak terlihat olehnya.
"aku baru tahu ada lorong menuju tempat itu," ucap lelaki itu padaku yang hanya kujawab singkat "yeah"
"Hei Nona, suaramu mengingatkanku pada gadis yang tadi duduk bersamaku saat awal kuliah," lanjutnya.
Andai saja lorong ini tidak ada, tentu ia sudah melihat wajahku yang memerah. Ah, bukan cuma dia, tapi seisi mobil ini.
"Gadis itu mengesankan, caranya membaca buku membuatku seperti melihat perempuan cerdas yang cantik. Ah bukan, tapi perempuan yang cantik karena cerdasnya," ia bercerita sambil sesekali tertawa.
Tuhan, apa Kau sengaja menciptakan lorong yang panjang ini? Kau ingin aku mendengar lelaki ini bercerita tentangku?
"Siapa..namanya?" tanyaku akhirnya dengan tetap berusaha menguasai diri.
"Anne," panggil Lisa tiba-tiba.
"Ya, namanya Anne sepertinya. Tadi sempat kudengar temannya memanggil ia An.." ucapan lelaki itu terputus tepat ketika lorong itu habis, tergantikan langit cerah yang menyinari seisi mobil, juga wajahku yang menunduk. Sedangkan lelaki itu seperti terkejut karena aku tak mendengar lagi suaranya. Tuhan, apakah dia sudah melihatku?
"Nona? Anda?" ucap lelaki itu bertanya. Aku masih diam dengan aktivitas menundukku. Sepanjang sisa perjalanan kami hanya diam.
"Anne, sudah sampai. Tadi aku ingin menyampaikan bahwa Tuan Ritz sudah sampai dan sudah mengurus keperluan kita di museum," ucap Lisa. Kucoba gerakkan tanganku yang gemetar ke arah Lisa, ingin memintanya menguatkanku. Tapi itu tak terjadi karena tangan kekar coklat muda lelaki itu menggenggam tanganku.
"Ayo kita nikmati museum dengan cara yang seru," ujarnya lembut dan membuatku mendongakkan kepala sehingga mendapati lelaki itu mengedipkan matanya. Aku tak sempat mengelak karena ia telah menarik tanganku. Entah kekuatan apa yang menarikku untuk menurutinya.
"Oh iya Nona Lisa, kupinjam temanmu ya," teriak lelaki itu sebelum kami pergi dari pandangan Lisa.
Museum Babel itu berisi sejarah-sejarah agama di dunia, termasuk agama pagan. Aku sudah lupa dengan kejadian memalukan tadi dan tenggelam dengan diskusi kami terkait asal mula agama di dunia.
"Kau mau melihat sektor pemakaman?" ajak lelaki itu.
"Siapa kamu?" tanyaku akhirnya. Ya, sejak tadi dia terus menyebut 'aku', 'kau' saja. Aku masih belum tahu namanya.
"Aku telah menyebut namaku tadi di awal perkenalan bukan? Oke, kita sudah sampai. Kau tak usah takut, Nona," ucap Lelaki itu. Kami telah ke halaman belakang museum yang dijadikan sektor pemakaman berbagai agama. Ya, kukira ini tempat sirkus atau pasar malam. Ini sektor pemakaman tapi malah riuh ramai. Bahkan, aku melihat seseorang seperti pendeta duduk di atas nisan sambil tangannya bergerak dari kiri ke kanan, begitu terus sebaliknya.
Menyadari tatapanku yang tak lepas dari lelaki tua itu, lelaki cerdas di hadapanku akhirnya menjelaskan sesuatu. tentunya terkait dengan apa yang kulihat.
"Itu upaya penjagaan orang hidup akan roh orang mati agar tak terusik baik oleh binatang maupun roh jahat," lelaki cerdas seakan begitu paham.
"Aneh,"
"Seaneh dirimu, Nona."
"Tapi menarik," lanjutku usai mendengus sebal.
"Semenarik dirimu juga, Anne," ujarnya. Kuputar bolamataku. Tuhan, ternyata ia lelaki penggombal. Kaum yang tak kusuka, sangat tidak kusukai.
"Aku benci penggombal," ucapku akhirnya. Kagumku sedikit demi sedikit memudar.
"Aku juga. Tapi sepertinya kau harus berlatih menerima gombalanku setiap saat," sahutnya masih dengan iringan tawa renyahnya.
"Maksudmu?"
Ia mendekatkan wajahnya. Tuhan, apa dia mau...
"Setelah dari museum aku ingin melamarmu sebagai istriku di depan kedua orangtuamu, Anne."
DEG!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar