Matahari menemani masa yang disebut pagi. Ya, aku melihatnya, bola bundar berwarna terang--tentu karena payung bumi menggelap--seolah menusukkan sinarnya pada retina mataku. Hei, kenapa matahari seolah membenci retina indahku ini? Kudekati ia, matahari itu. Tentu tanpa kuniatkan, toh aku bergerak mendekati rumahku usai lelarian pagi. Dan meski kuniatkan, aku sadar matahari tak akan mau dan mampu kupegang. Ya, sedari kanak-kanak aku sudah didoktrin bahwa matahari adalah benda sepanas ribuan derajat yang mampu menghanguskan hanya dari jarak ribuan kilometer. Bergidik? Aku juga bisa saja bergidik membayangkannya.
Euh, ada rasa tak nyaman dari tanganku. Aneh, tak biasanya olahraga menyebabkan sakit. Ah tapi ini juga bukan sakit, hanya tak nyaman. Kucoba biarkan bola mataku bersinkronisasi dengan otak, memerintahkan sensor motorik halusku, agar dapat kuketahui penyebab rasa tak nyaman ini. Yap, dalam sepersekian detik, tangan kananku sudah terjangkau dalam jarak pandang mata ini. kutelusuri melalui tatapan mata, di mana letak rasa tak nyaman itu. Mungkin melihat saja tak cukup, kubantu dengan sedikit menggerakkan tangan kananku. Tentu untuk mengetahui titik rasa itu. Dan ah, lagi-lagi dalam sepersekian detik kudapati letaknya. Hei, letak yang tak wajar, kenapa bisa rasa itu muncul di sana?
Yeah, kalian mungkin merasa sedikit aneh bagaimana bisa ada sesuatu di punggung tanganku, tepatnya di kulit dekat sambungan antara tulang jari dan tulang telapak tangan. jangankan kalian, aku sendiri juga merasa aneh. Di tempat itu ada bekas kulit menebal, seperti habis ada kulit yang sedikit terkoyak kemudian mengeluarkan darah. Tapi, lagi-lagi aku tak dapat menemukan di mana darah itu. Hanya penebalan kulit berwarna merah tua saja yang bisa kulihat, bersama rasa tak nyaman. Kudekatkan lagi punggung tanganku dengan mata, mencoba meneliti lebih jauh lagi.
Tapi sayang, aku bukanlah dokter atau anggota Palang Merah Remaja yang tak begitu saja bisa memvonis apa yang kualami. Sudahlah, tak begitu terasa ketidaknyamanan itu, dan tak mempengaruhi aktiviitasku sepertinya. Hanya ada satu hal yang terus hinggap di kepalaku terkait kulit yang menebal itu. Kapan dan apa penyebab luka ini? Hei, tanpa kusengaja aku sudah mampu mengatakan bahwa tanganku luka! Hebat, ya? Ah sudahlah, tak berguna juga identifikasi bernama luka itu. Tidak bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dan kapan. Anehnya, kenapa aku tidak bisa mengingat rasa sakit saat --mungkin saja--darah itu keluar?
Kutelusuri kejadian-kejadian sebelumnya, terus saja kutelusuri. Kuingat lagi, dan kufungsikan maksimal neuron serta dendrit dalam otakku. Kubiarkan cairan-cairan 'listrik' itu menyengat setiap dendrit, membantuku mencari kepingan ingatan akan kejadian di masa yang lalu. Ah, begitu banyak teori pengingatan yang diajarkan guru-guru sejak aku bisa membaca. Kuharap ajaran-ajaran itu membantu, khussnya saat ini saat aku tak mengingat rasa sakit pertama yang biasanya--dan seharusnya--kurasakan saat ada bagian tubuhku terluka.
Terus saja kuingat, kuingat, dan kuingat. aha! eureka kalau kata ilmuwan zaman sebelum kudilahirkan. Akhirnya aku mengingat kemungkinan didapatnya luka ini. Semalam, saat aku kesal terhadap kekakuan adikku, emosi memuncak dalam diri ini. Ya, wajar, bukan, aku merasakan emosi? Tapi itu hanya sesaat, karena suatu rasa melebihi emosi kurasakan pada saat berikutnya. Entah apa namanya hingga gigiku gemeletuk dan tanganku mengepal. Dan saat itulah aku mengumpulkan--entah sengaja atau tidak--semua emosiku ke arah kepalan tangan, tepatnya tangan kanan yang memang refleks mengepal.
SETT!!
Ada kilasan kisah yang kubaca jauh sebelum kemarahan datang. Dalam buku itu, sang tokoh mencoba mematikan emosinya agar mudah baginya menghukum pelanggar keadilan. Dan dalam buku itu digambarkan betapa mudah bagi sang tokoh memutuskan sesuatu hal sulit kala ia tak lagi memiliki emosi. Pun bila itu terkait dengan kematian ibunya. Itulah yang kusuka dari sang tokoh, tak ingin terlibat ikatan batin dengan siapapun agar mudah menjalankan misinya dalam penegakan keadilan.
Ya, aku ingat. Saat itulah kucoba tak merasakan apapun selain mengingat bahwa tanganku sudah membentur daun pintu. tepatnya, punggung tanganku. Aku ingat saat itu tak sedikitpun kurasa meringis karena ulah konyolku itu. Entah apakah itu yang namanya emosi di titik nol, atau malah emosi yang sangat besar dan membutakanku akan rasa, seperti rasa sakit setelah benturan punggung tangan kurusku dengan daun pintu.
Sebuah senyum tipis tertarik dan mewujud di bibirku.
"Tak punya hati, eh?" ucapku akhirnya meremehkan. Dan aku tetap menyongsong matahari itu. Ia semakin memberi hawa panas padaku. Oke, mungkin matahari ingin mengatakan bahwa hari mulai siang. Dan sepatu kets seolah mendukungku untuk mengayun kedua kaki lebih cepat, menuju rumah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar